ASURANSI DAN JAMINAN SOCIAL DALAM ISLAM
ASURANSI DAN JAMINAN SOCIAL DALAM
ISLAM
Pengertian Asuransi Dalam Islam
Dalam menerjemahkan istilah asuransi ke dalam konteks
asuransi Islam terdapat beberapa istilah, antara lain takaful (bahasa
Arab), ta’min (bahasa Arab) dan Islamic insurance (bahasa
Inggris). Istilah
takaful dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar kafala-yakfulu-takafala-yatakafalu-takaful
yang berarti saling menanggung atau menanggung bersama. Kata takaful tidak
dijumpai dalam Al-Qur’an, namun demikian ada sejumlah kata yang seakar dengan
kata takaful, seperti misalnya dalam QS. Thaha (20): 40 “… hal adullukum
‘ala man yakfuluhu…”. Yang artinya ”… bolehkah saya menunjukkan kepadamu
orang yang akan memeliharanya (menanggungnya)?…”
Landasan
Filosofis Asuransi Syari’ah
a. Dasar Hukum:
1) Al-Qur’an: Surat Al-Baqarah, ayat 188;
Surat Al-Hasyr, ayat 18; Surat An Nissa’ ayat 9; Surat Yusuf, ayat 43-49
2) Ijtihad: Fatwa Sahabat; Praktik
sahabat berkenaan dengan pembayaran hukuman (ganti-rugi) pernah dilakukan oleh
Khalifah kedua, Umar bin Khattab.
3) Ijma’: Para sahabat telah
melakukan kesepakatan dalam hal aqilah yang dilakukan oleh Khalifah Unmar bin
Khattab. Adanya ijma’ atau kesepakatan ini tampak dengan tidak adanya sahabat
lain yang menentang pelaksanaan aqilah ini. Aqilah adalah iuran darah yang
dilakukan oleh keluarga dari pihak laki-laki (ashabah) dari sipembunuh.
b. Prinsip
Asuransi Syari’ah
1) Prinsip Tauhid:
Artinya bahwa niatan dasar ketika berasuransi syari’ah haruslah berlandaskan
pada prinsip tauhid, mengharapkan keridhaan Allah SWT
2) Prinsip Keadilan:
Artinya bahwa asuransi syari’ah harus benar-benar bersikap adil. Asuransi
syari’ah tidak boleh mendzalimi nasabah dengan hal-hal yang akan menyulitkan
atau merugikan nasabah.
3) Prinsip Tolong Menolong: pada hekekatnya, konsep asuransi syari’ah
didasarkan pada prinsip ini. Dimana sesama peserta bertabarru’ atau berderma
untuk kepentingan nasabah lainnya yang tertimpa musibah.
4) Prinsip Kerjasama: Antara
nasabah dengan perusahaan asuransi syari’ah terjalin kerjasama, tergantung dari
akad apa yang digunakannya.
5) Prinsip Amanah: Karena
pada hakekatnya kehidupan ini adalah amanah yang kelak harus dipertanggung
jawabkan dihadapan Allah SWT. Perusahaan dituntut untuk amanah dalam mengelola
dana premi. Demikian juga nasabah, perlu amanah dalam aspek resiko yang
menimpanya.
6) Prinsip Saling Ridha (‘An Taradhin): Dalam
transaksi apapun, aspek an taradhin atau
saling meridhai harus selalu menyertai.
7) Prinsip Menghindari Riba: Riba
merupakan bentuk transaksi yang harus dihindari sejauh-jauhnya khususnya dalam
berasuransi. Karena riba merupakan sebatil-batilnya transaksi muamalah.
8) Prinsip Menghindari Gharar: Gharar
adalah ketidakjelasan. Dan berbicara mengenai resiko, adalah berbicara tentang
ketidak jelasan. Karena resiko bisa terjadi bisa tidak.
Pada
perkembangannya, jika mengacu pada ketiga ayat diatas maka Asuransi
menuai perbedaan pendapat dikalangan umat muslim, perbedaan tersebut
diantaranya adalah seperti berikut:
·
Haram.Asuransi itu haram dalam segala
macam bentuknya temasuk asuransi jiwa Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid
Sabiq Abdullah al-Qalqii Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth’i
·
Boleh. Asuransi di perbolehkan. Pendapat
kedau ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf Mustafa Akhmad Zarqa Muhammad
Yusuf Musa dan Abd. Rakhman Isa
·
syubhat.
Alasan golongan yg mengatakan
asuransi syubhat adalah karena tidak ada dalil yg tegas yang menyatakan halal
atau haramnya asuransi tersebut
Prinsip
asuransi syariah yang menekankan pada semangat kebersamaan dan tolong-menolong
(ta’awun). Semangat asuransi syariah menginginkan berdirinya sebuah
masyarakat mandiri yang tegak di atas asas saling membantu dan saling menopang,
karena setiap muslim terhadap muslim yang lainnya sebagaimana sebuah bangunan
yang saling menguatkan sebagian kepada sebagian yang lain.
Pedoman
Perasuransian
Dalam menjalankan usahanya,
perusahaan asuransi dan reasuransi syariah berpegang pada pedoman yang
dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yaitu
Fatwa DSN-MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah di
samping Fatwa DSN-MUI yang paling terkini yang terkait dengan akad perjanjian
asuransi syariah yaitu Fatwa No.51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah
Musytarakah pada Asuransi Syariah, Fatwa No. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang
Akad Wakalah bil Ujrah pada Asuransi Syariah, Fatwa No.
53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru’ pada Asuransi Syariah.
Comments
Post a Comment