"Karya pertama Q yang Menyenangkan hati Q...Sayang nya sertifikat nya tidak ada...ya Sudahlah...!!!!!
oleh Ri-On Bettencourt pada 2 Mei 2011 pukul 23:58 ·
CERITA PENDEK
“KATA EYANG…….”
Disusun untuk Mengikuti Lomba Penulisan Cerpen dan Puisi
Tingkat SMP dan SMA se-Kabupaten Temanggung
Oleh:
ERI ARIANTORO
DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN TEMANGGUNG
SMK NEGERI 2 TEMANGGUNG
TAHUN 2009
Kata Eyang………….
Ladang menghijau
Padi menumpuk
Bencana tiada
Wakil rakyat merakyat
Ekonomi meningkat
Kesejahteraan merata
Konflik tiada
Maulah Indonesia
“Bumi Indonesia bukanlah buminya orang bodoh tetapi bumi yang kaya orang bodoh. Bumi Indonesia bukanlah bumi yang miskin tetapi Indonesia adalah bumi yang kaya orang miskin.” Eyang memulai bercerita, aku dan Eyang duduk di amben1 (seperti tempat duduk yang lebar dan biasanya diletakkan di depan rumah). Amben itu terbuat dari kayu sengon laut yang dibuat Eyang tujuh tahun yang lalu. Aku dan Eyang memang selalu menyempatkan istirahat sepulang dari sawah. Eyang sering bercerita tentang masa lalu Indonesia. Misalnya Indonesia waktu dijajah Jepang dan Belanda, pemberontakan PKI, atau masa pemerintahan Soeharto presiden ke-2 indonesia. Tetapi kali ini bukan hanya bercerita tentang Indonesia di waktu lampau tetapi juga mengintip Indonesia di masa yang akan datang. Kali ini Eyang bercerita bagaimana malasnya orang Indonesia. Mereka hanya makan, minum, tidur dan bermain-main, tanpa memikirkan asal-muasal makanan tersebut. Menurut Eyang kebiasaan orang Indonesia yang seperti itu, karena keadaan alamnya yang subur dan kayanya sumber daya alam.
Berbeda dengan orang luar negeri yang kedaan alamnya kurang subur sehingga membuat orang-orangnya berfikir untuk mendapatkan sesuatu yang mereka butuhkan. Mereka berusaha mencari daerah yang subur dan kaya akan sumber daya alam. Mereka membuat kapal kemudian berlayar melewati pulau demi pulau sampai ahirnya sebagian di antara mereka singgah di Indonesia dan kemudian menjajahnya.
“Ini gendarnya (makanan dari nasi yang di tumbuk sampai kenyal) ” kata Eyang Putri sambil menyodorkan sepiring gendar yang baru saja di gorengnya. Langsung saja kusambar gendar goreng yang masih hangatitu.
“Mbok ya pelan pelan to Le ( pelan-pelan ya nak) , sopan gitu lho, kan gak baik makan cepat-cepat! Apalagi kalau makannya di depan orang tua” kata Eyang putri.
“Ya ..Eyang, ma’af!”
“Ya nggak apa-apa jangan diulangi lagi ya!”
“Ya Eyang”
Gendar buatan Eyang memang enak sekali. Rasanya hampir seperti empek-empek. Kalau boleh bilang ini empek-empek jawa.
Kemudian Eyang Putri juga ikut bercerita tentang masa lalu Indonesia.
“Iya, ya Pak? Indonesia itu kapan majunya, dari sebelum merdeka sampai sekarang hanya seperti ini saja. Tidak ada perkembangan yang signifikan. Kalau teringat waktu penjajahan rasanya ingin menangis, makan nasi tiwul, pakaian dari karung goni ah pokoknya mengerikan. Tetapi kalau melihat Indonesia sekarang ini sama saja juga ingin menangis. Bagaimana tidak, melihat orang-orangnya yang hanya bermalas-malasan, atau anggota DPR yang hanya duduk di kursi DPR yang empuk sambil menghitung gaji ke-13nya”. kata Eyang putri
“Dulu Indonesia adalah bangsa yang maju. Buktinya Indonesia pernah memiliki kerajaan yang besar, malah ada dua yang pertama yaitu kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan nusantara pertama dan kerajaan Majapahit sebagai kerajaan nusantara ke dua. Yang wilayahnya sampai ke malaka.
***
“Allahu Akbar Allahu Akbar , Allahu Akbar Allahu Akbar”
Terdengar suara adzan dari masjid Al-Ikhlas di desaku. Sepertinya sudah tidak asing lagi dengan suara itu. Ya itu adalah suara Paklik ku yang memang ditugasi untuk menjadi muadzin di masjid Al-Ikhlas.
“Cepet to le, Paklikmu sudah memanggil kamu tuh. Cepet mandi sana gantian sama Eyang Romo !”
“Ya Eyang sebentar “
Langsung kuambil handuk di pemean ( jemuran ) yang dari tadi pagi diletakkan di samping rumah. Setelah itu aku langsung ke sumur di belakang rumah untuk mandi. Selesai mandi aku ganti baju lalu wudu dan pergi ke masjid untuk sholat dhuhur.
Selesai sholat biasanya aku duduk-duduk di serambi masjid dengan temen teman sebaya. Seperti biasa, kami membicarakan sesuatu yang sepertinya kurang berguna, tapi setidaknya bisa untuk hiburan setelah lama bekerja atau sekolah. Setelah dirasa cukup kami pulang kerumah masing-masing.
Setelah pulang dari masjid Aku kembali di amben depan untuk tidur-tiduran sambil dengerin radio. Aku hanya mendengarkan “berita hari ini” yang diudarakan oleh ofa radio. Seperti inilah isinya” seorang ibu jatuh pingsan setelah dua orang menjambret tasnya yang berisi uang tunai sebesar sebuluh juta rupiah dan handphone nokia seri 2310, tetapi tidak lama setelah kejadian terjadi polisi berhasil menangkap dua pelaku penjambretan tersebut. Berita yang ke dua datang dari Irene Sukandar yang berhasil masuk ke grand final catur dunia.” Aku mendengarkan radio sambil berangan-angan memikirkan layaknya kaum intelek.
Andai saja semua orang Indonesia bisa mengolah bumi Indonesia layaknya Irene Sukandar yang memainkan bidak-bidak caturnya dengan teliti dan penuh perhitungan mungkin Indonesia akan menjadi bangsa yang maju, terkenal, dihormati dan juga disegani oleh bangsa lain. Tetapi bila orang Indonesia hanya berpikir seperti dua orang penjambret itu, yang hanya berbuat tanpa memikirkan apa yang akan terjadi. Mungkin Indonesia akan menjadi bangsa yang tidak dihargai dan akan dilecehkan oleh bangsa lain yang menjadikan bangsa ini tertinggal dan tertekan oleh bangsa asing seperti dua penjambret yang tertekan di penjara akibat dari ketololannya.
Karena kelelahan setelah menanam jagung Akupun tertidur di amben depan dihantarkan tembang dari Didi Kempot yang berjudul “sewu kuto”, yang mengantikan acara “berita hari ini”. Perlahan mataku pun mulai menciut, tubuh mulai melemas dan terlentang. Taklama kemudian akupun benar-benar tertidur.
***
“Aduh…aduh…aduh”
Seekor semut hitam menggigit leherku dan menyebabkan Aku terbangun dari tidurku yang baru sesaat, dan menyebabkanku tak mengantuk lagi. Rupanya semut-semut itu memakan rebelan ( sisa makanan yang kecil ) gendar goreng yang tadi siang ku makan. Mungkin semut-semut itu mengira kalau leherku adalah gendar goreng yang masih utuh. Jelas saja kulitku kan gelap seperti gendar goreng gosong.
Biasanya setelah bangun siang aku membantu bapak menyiangi rumput di ladang yang sedang ditanami jahe. Tapi tidak untuk hari ini. tubuhku sudah cukup lelah sehabis menanam jagung tadi pagi. Tetapi Kali ini aku ingin makan mangga yang matang di pohon milik Eyang yang berada di samping rumah, kucoba melihat-lihat dan sepertinya ada beberapa mangga yang sudah matang dan siap untuk dimakan.. Kata eyang pohon mangga ini sudah ada lebih dari sepuluh tahun. Pantas saja pohonnya sudah sebesar pelukan orang dewasa. Aku memanjat pohon itu dengan hati-hati. Sebentar saja aku sudah berada di atas pohon mangga itu.
“Ya Allah Tuhanku betapa besarnya Engkau“. batinku.
Kulihat petak-petak sawah yang elok, apalagi dengan tumbuhan palawijanya yang tumbuh subur. Inilah Indonesiaku, tanahnya subur tetapi rakyatnya kurang makmur. Contohnya desaku yang terletak di lereng gunung sumbing ini. Biarpun tanaman tumbuh subur tetapi banyak masyarakat yang tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka menghutang dari sanak saudara yang nasibnya lebih baik dan baru dilunasi setelah musim panen tiba. Itupun tidak semua hutang bisa terbayar. Karena harga jual hasil panen sering mengecewakan.
Tapi aku heran mengapa di tanah yang subur ini masih ada orang-orang yang malas bekerja dan hanya meminta belas kasihan orang lain saja. Atau malah mengambil hak orang lain yang bukan haknya. Anak-anak jalanan atau bandit-bandit liar misalnya.
Aku jadi teringat kata-kata Eyang “ Tanamlah maka kamu akan memetiknya. Dan janganlah memetik tanaman orang lain yang bukan hak kamu.”
“Ssrreet…aduh” hampir saja aku terpeleset, dahan yang kupijak agaknya kurang bersahabat. Setelah aku memetik beberapa buah dan menjatuhkanya ke tanah aku turun dengan hati-hati, karena aku takut terpeleset lagi. Lalu ku ambil buah mangga yang tadi Aku jatuhkan. Ku mulai mengelupas mangga itu dengan pisau yang dari tadi kusiapkan.
“Cicipin dulu ah.. wah manisnya.”
Karena saking enaknya makan mangga Aku tidak sadar kalau sudah makan empat mangga dan baru akan habis yang kelima. Belum habis mangga yang kelima mendadak perutku mules. Langsung saja kutancap gas pol kemudi Ku arahkan ke kamar mandi. Aduh sial sekali ternyata ada orang di dalam kamar mandi. Rupanya Eyang purti sedang mandi. Karena sudah darurat sekali kuketuk pintu kamar mandi dengan sedikit keras.
“Tok…tok…tok…”
“Ya sebentar”
“ Ma’af Eyang , bisa lebih cepat lagi gak?”
“Sebentar toLe. Yang sabar sedikit gitu lho”
“Sudah di ujung tanduk nih Eyang”
“Antri dong . antre kan termasuk sikap warga negara yang baik”
“Iya Eyang tetapi ini tidak bisa dibendung lagi”
“Ya sini”. Kata Eyang sambil membuka pintu kamar mandi.
Langsung saja ku serobot kedudukan kamar mandi setelah Eyang putri keluar. Tanpa basa-basi kukeluarkan semua yang dari tadi mengetuk-ngetuk pintu exitku.
“Ah lega” kataku setelah keluar dari kamar mandi, dengan memegang perutku.
“Kenapa to le”
“Ini Eyang perutku mendadak sakit”
“Makanya kalau makan mangga mbokya di bagi-bagi”
“Lho kok Eyang tahu”
“Ya iya lhawong pisau sama kulitnya saja nggak di beresin. Habis berapa kamu?”
“ Lima kurang sedikit Eyang”
“Ya sudah sekarang sudah tidak sakit lagi kan ? kalau sudah beresin tu pisau dan kulit magganya”
“Ya Eyang”
“Oh .. iya sehabis beres-beres langsung mandi ya sudah hampir ashar ni”
“Siap Eyang”
Aku membereskan pisau dan kulit pisang yang berserakan di bawah pohon mangga samping rumah. Lalu mandi, wudhu dan langsung pergi ke masjid. Karena kali ini aku harus menggantikan Paklik adzan ashar. Karena Paklik sedang mengantar adik les di kota dan baru pulang, sekitar pukul lima.
Aku langsung pulang setelah selesai sholat ashar .Karena katanya sekarang akan ada pemadaman bergilir. Seperti biasa pemadaman bergilir ini jatuh setiap tangal lima. Aku harus menyiapkan senthir ( obor kecil terbuat dari botol yang berisikan minyak tanah ) untuk nanti malam. Sentir kuambil di tempah biasa di samping lemari. Ku ambil lalu Ku periksa sumbunya apakah masih bagus atau tidak. Setelah memastikan semuanya layak, kemudian Aku mengisinya dengan minyak tanah.
Karena hari sudah cukup petang, Aku mengambil sentir yang tadi kusiapkan. Ku membakar ujung sumbu sentir itu dan ruangan pun menjadi lebih terang dari sebelumnya. Karena dari tadi aku sibuk mengurusi penerangan rumah, Aku jadi lupa kalau harus memberi makan kambing Eyang yang ada di kandang yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah Eyang hanya sekitar 10 meter dari rumah Eyang. Ku ambil sebuah sentir dan Aku pergi menuju kandang . Setelah selesai mengerjakan semuanya dari memberi makan kambing sampai memasukkan ayam yang dari tadi setia menunggu di pintu masuk kandang.
“Yan..Yan “ Eyang memanggilku.
“Ya Eyang”
“Sudah magrib sana pergi ke masjid”
“Ya Eyang sebentar”
Pukul 05.45 Aku berangkat ke masjid bersama teman-teman, kedua Eyang ku dan juga Paklikku. Aku dan teman-temanku tidak pernh pulang dari masjid sebelum selesai sholat isya’. Kami mengaji untuk belajar ilmu agama di masjid yang di ajar oleh Ustad Yani., malam ini aku belajar membaca Al-qur’an . karena walaupun umurku sudah 17 tahun aku belum begitu mahir dalam membaca Al-qur’an.
Adzan isya’ telah dikumandangkan tak lama kemudian sholat isya’ didirikan . setelah selesai sholat isya’ Aku ikut thalil dan mendengarkan kultum. Tetapi belum selesai kultum ada tetangga yang memanggil Eyang dan nadanya seperti tergesa-gesa.
“Pak … Pak ..Nariyo!!!!!!!!!”
“Ya ada apa pak?”
“Gawat pak kebakaran”
“Dimana pak ? apa yang terbakar?”
“Kandang Pak Nario terbakar”
“Ada apa dengan kandang saya?”
“Iya cepat pak”
Eyang romo dan semua orang yang ada di masjid berhamburan pergi ke rumah Eyang Akupun tidak ketinggalan rombongan tersebut, ibu-ibu pun juga sama. Kultum yang belum selesai di tinggal begitu saja.
Kedaan menjadi berbeda malam hari ini. Desaku menjadi ramai, bukan karena ada kontes dangdut atau pertunjukan wayang. tetapi karena harus menahlukan api yang sedang mengamuk. Sebentar saja api sudah membesar dan hampir semunya terbakar . Kambing-kambing di kandang sudah tak sabar keluar dari kandang yang sudah seperti neraka. Mereka mengamuk dinding kandang yang terbuat dari anyaman bambu. Tapi apa boleh buat tak ada satupun yang berani mendekat dari kami.
Kami sibuk memadamkan api dengan alat seadanya. Ada yang mengunakan baskom ,ember, dan peralatan lain yang bisa digunakan untuk mengambil air. Kamipun harus menimba untuk mendapatkan air..
Paklik berusaha untuk mendatangkan pemadam kebakaran dengan menelponya. Tapi sialnya tidak nyambung-nyambung juga, karena posisi kami yang beradaa di desa. Sehingga sinyal kurang kuat .
“Selamat malam Pak, saya melaporkan kalau ada kebakaran di desa kami. Tepatnya di desa Madureso kecamatan Temanggung.”
“Ya pak kami segera menuju ke lokasi”
Tampaknya Paklik berhasil menghubungi petugas pemadam kebakaraan. Tetapi bantuan yang kami tunggu-tunggu tidak juga datang. Karena api sudah sangat besar wargapun tidak lagi berani mendekat dan hanya diam menunggu nasib. Karena mereka sudah lelah dan tampaknya sudah tidak ada lagi yang bisa di selamatkan. Suara kambing yang tadinya terdengar sekarang sudauh tidak lagi terdengar. Ibu-ibu yang melihat hanya menjerit-jerit dan bingung mau berbuat apa.
Ahirnya api sudah mulai mereda, tetapi bukan karena pemam kebakaran sudah tiba namun karena memang sudah tidak adalagi yang akan dibakar. Semuanya hangus tak terkecuali, tiga ekor kambing dan empat ekor ayam sudah menjadi sate panggang dan sudah dimakan si jago merah.
Suara mobil pemadam kebakaran mulai terdengar, keras sekali suaranya. Tetapi apalah gunanya kalau api sudah tiada dan harta lenyap adanya. Petugas pemadam kebakaran hanya melongo melihat keadaan di kandang Eyang. Meskipun mobil pemadam kebakaran sudah bisa sampai ke lokasi tetapi sudah tidak ada gunanya lagi.
Petugas pemadam kebakaran meminta maaf kepada semua waraga terutama kepada Eyang. Mereka menjelaskan bahwa jalan yang dilalui sangat sempit dan tidak rata Sehingga menyulitkan mobil pemadam ke lokasi kebakaran. Eyang memaklumi kejadian tersebut karena memang begitu adanya.
Andai saja tidak ada pemadaman bergilir malam ini, andaisaja jalan-jalan bagus dan mudah dilalui, andaisaja akses telekomunikasi memadahi. Mungkin keadaan tidak akan seperti ini.
Setelah ditelusuri ternyata penyebab kebakaran adalah sentir yang tadi sore kubawa ke kandang dan lupa bembawanya kembali.
“Tahukah kamu hikmah apa yang dapat kamu petik dari kejadian ini?” tanya Eyang kepadaku. Namun aku tak bisa menjawab, aku hanya terdiam menunduk malu karena kecerobohanku. Lalu Eyang melanjutkan bicaranya.
“Tahukah kamu tentang senthir, tujuan orang membuat senthir memang untuk menerangi jika mati lampu. Namun bila senthir tersebut tidak dijaga ataupun lupa untuk mematikannya, maka akan menjadi malapetaka seperti ini”
“ Apakah kamu sudah bisa menebak hikmahnya?”
“ Belum, Eyang”
“ Senthir itu bagaikan amanat rakyat yang diemban oleh DPR. Namun mereka sering mengabaikannya, hingga menyengsarakan rakyatnya, itu sama saja dengan kebakaran ini, walaupun senthir sekecil apapun, namun tetap membahayakan bila tidak dijaga dengan baik”kata Eyang sambil memelukku. Kemudian beliau berkata lagi ”Dan janganlah kamu menyepelekan amanat yang sekecil apapun”. Kemudian beliau mengajakku tidur karena hari sudah malam.
Sebelum tidur aku memikirkan kata-kata Eyang. Dapatkah aku menjaga amanat jika aku menjadi anggota DPR agar rakyat menjadi sejahtera. Dan bisakah aku memperbaiki desa ini agar kejadian ini tidak berulang kembali.
*********
r14n_ontel@yahoo.com
Sederhana gak neko-n
“KATA EYANG…….”
Disusun untuk Mengikuti Lomba Penulisan Cerpen dan Puisi
Tingkat SMP dan SMA se-Kabupaten Temanggung
Oleh:
ERI ARIANTORO
DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN TEMANGGUNG
SMK NEGERI 2 TEMANGGUNG
TAHUN 2009
Kata Eyang………….
Ladang menghijau
Padi menumpuk
Bencana tiada
Wakil rakyat merakyat
Ekonomi meningkat
Kesejahteraan merata
Konflik tiada
Maulah Indonesia
“Bumi Indonesia bukanlah buminya orang bodoh tetapi bumi yang kaya orang bodoh. Bumi Indonesia bukanlah bumi yang miskin tetapi Indonesia adalah bumi yang kaya orang miskin.” Eyang memulai bercerita, aku dan Eyang duduk di amben1 (seperti tempat duduk yang lebar dan biasanya diletakkan di depan rumah). Amben itu terbuat dari kayu sengon laut yang dibuat Eyang tujuh tahun yang lalu. Aku dan Eyang memang selalu menyempatkan istirahat sepulang dari sawah. Eyang sering bercerita tentang masa lalu Indonesia. Misalnya Indonesia waktu dijajah Jepang dan Belanda, pemberontakan PKI, atau masa pemerintahan Soeharto presiden ke-2 indonesia. Tetapi kali ini bukan hanya bercerita tentang Indonesia di waktu lampau tetapi juga mengintip Indonesia di masa yang akan datang. Kali ini Eyang bercerita bagaimana malasnya orang Indonesia. Mereka hanya makan, minum, tidur dan bermain-main, tanpa memikirkan asal-muasal makanan tersebut. Menurut Eyang kebiasaan orang Indonesia yang seperti itu, karena keadaan alamnya yang subur dan kayanya sumber daya alam.
Berbeda dengan orang luar negeri yang kedaan alamnya kurang subur sehingga membuat orang-orangnya berfikir untuk mendapatkan sesuatu yang mereka butuhkan. Mereka berusaha mencari daerah yang subur dan kaya akan sumber daya alam. Mereka membuat kapal kemudian berlayar melewati pulau demi pulau sampai ahirnya sebagian di antara mereka singgah di Indonesia dan kemudian menjajahnya.
“Ini gendarnya (makanan dari nasi yang di tumbuk sampai kenyal) ” kata Eyang Putri sambil menyodorkan sepiring gendar yang baru saja di gorengnya. Langsung saja kusambar gendar goreng yang masih hangatitu.
“Mbok ya pelan pelan to Le ( pelan-pelan ya nak) , sopan gitu lho, kan gak baik makan cepat-cepat! Apalagi kalau makannya di depan orang tua” kata Eyang putri.
“Ya ..Eyang, ma’af!”
“Ya nggak apa-apa jangan diulangi lagi ya!”
“Ya Eyang”
Gendar buatan Eyang memang enak sekali. Rasanya hampir seperti empek-empek. Kalau boleh bilang ini empek-empek jawa.
Kemudian Eyang Putri juga ikut bercerita tentang masa lalu Indonesia.
“Iya, ya Pak? Indonesia itu kapan majunya, dari sebelum merdeka sampai sekarang hanya seperti ini saja. Tidak ada perkembangan yang signifikan. Kalau teringat waktu penjajahan rasanya ingin menangis, makan nasi tiwul, pakaian dari karung goni ah pokoknya mengerikan. Tetapi kalau melihat Indonesia sekarang ini sama saja juga ingin menangis. Bagaimana tidak, melihat orang-orangnya yang hanya bermalas-malasan, atau anggota DPR yang hanya duduk di kursi DPR yang empuk sambil menghitung gaji ke-13nya”. kata Eyang putri
“Dulu Indonesia adalah bangsa yang maju. Buktinya Indonesia pernah memiliki kerajaan yang besar, malah ada dua yang pertama yaitu kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan nusantara pertama dan kerajaan Majapahit sebagai kerajaan nusantara ke dua. Yang wilayahnya sampai ke malaka.
***
“Allahu Akbar Allahu Akbar , Allahu Akbar Allahu Akbar”
Terdengar suara adzan dari masjid Al-Ikhlas di desaku. Sepertinya sudah tidak asing lagi dengan suara itu. Ya itu adalah suara Paklik ku yang memang ditugasi untuk menjadi muadzin di masjid Al-Ikhlas.
“Cepet to le, Paklikmu sudah memanggil kamu tuh. Cepet mandi sana gantian sama Eyang Romo !”
“Ya Eyang sebentar “
Langsung kuambil handuk di pemean ( jemuran ) yang dari tadi pagi diletakkan di samping rumah. Setelah itu aku langsung ke sumur di belakang rumah untuk mandi. Selesai mandi aku ganti baju lalu wudu dan pergi ke masjid untuk sholat dhuhur.
Selesai sholat biasanya aku duduk-duduk di serambi masjid dengan temen teman sebaya. Seperti biasa, kami membicarakan sesuatu yang sepertinya kurang berguna, tapi setidaknya bisa untuk hiburan setelah lama bekerja atau sekolah. Setelah dirasa cukup kami pulang kerumah masing-masing.
Setelah pulang dari masjid Aku kembali di amben depan untuk tidur-tiduran sambil dengerin radio. Aku hanya mendengarkan “berita hari ini” yang diudarakan oleh ofa radio. Seperti inilah isinya” seorang ibu jatuh pingsan setelah dua orang menjambret tasnya yang berisi uang tunai sebesar sebuluh juta rupiah dan handphone nokia seri 2310, tetapi tidak lama setelah kejadian terjadi polisi berhasil menangkap dua pelaku penjambretan tersebut. Berita yang ke dua datang dari Irene Sukandar yang berhasil masuk ke grand final catur dunia.” Aku mendengarkan radio sambil berangan-angan memikirkan layaknya kaum intelek.
Andai saja semua orang Indonesia bisa mengolah bumi Indonesia layaknya Irene Sukandar yang memainkan bidak-bidak caturnya dengan teliti dan penuh perhitungan mungkin Indonesia akan menjadi bangsa yang maju, terkenal, dihormati dan juga disegani oleh bangsa lain. Tetapi bila orang Indonesia hanya berpikir seperti dua orang penjambret itu, yang hanya berbuat tanpa memikirkan apa yang akan terjadi. Mungkin Indonesia akan menjadi bangsa yang tidak dihargai dan akan dilecehkan oleh bangsa lain yang menjadikan bangsa ini tertinggal dan tertekan oleh bangsa asing seperti dua penjambret yang tertekan di penjara akibat dari ketololannya.
Karena kelelahan setelah menanam jagung Akupun tertidur di amben depan dihantarkan tembang dari Didi Kempot yang berjudul “sewu kuto”, yang mengantikan acara “berita hari ini”. Perlahan mataku pun mulai menciut, tubuh mulai melemas dan terlentang. Taklama kemudian akupun benar-benar tertidur.
***
“Aduh…aduh…aduh”
Seekor semut hitam menggigit leherku dan menyebabkan Aku terbangun dari tidurku yang baru sesaat, dan menyebabkanku tak mengantuk lagi. Rupanya semut-semut itu memakan rebelan ( sisa makanan yang kecil ) gendar goreng yang tadi siang ku makan. Mungkin semut-semut itu mengira kalau leherku adalah gendar goreng yang masih utuh. Jelas saja kulitku kan gelap seperti gendar goreng gosong.
Biasanya setelah bangun siang aku membantu bapak menyiangi rumput di ladang yang sedang ditanami jahe. Tapi tidak untuk hari ini. tubuhku sudah cukup lelah sehabis menanam jagung tadi pagi. Tetapi Kali ini aku ingin makan mangga yang matang di pohon milik Eyang yang berada di samping rumah, kucoba melihat-lihat dan sepertinya ada beberapa mangga yang sudah matang dan siap untuk dimakan.. Kata eyang pohon mangga ini sudah ada lebih dari sepuluh tahun. Pantas saja pohonnya sudah sebesar pelukan orang dewasa. Aku memanjat pohon itu dengan hati-hati. Sebentar saja aku sudah berada di atas pohon mangga itu.
“Ya Allah Tuhanku betapa besarnya Engkau“. batinku.
Kulihat petak-petak sawah yang elok, apalagi dengan tumbuhan palawijanya yang tumbuh subur. Inilah Indonesiaku, tanahnya subur tetapi rakyatnya kurang makmur. Contohnya desaku yang terletak di lereng gunung sumbing ini. Biarpun tanaman tumbuh subur tetapi banyak masyarakat yang tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka menghutang dari sanak saudara yang nasibnya lebih baik dan baru dilunasi setelah musim panen tiba. Itupun tidak semua hutang bisa terbayar. Karena harga jual hasil panen sering mengecewakan.
Tapi aku heran mengapa di tanah yang subur ini masih ada orang-orang yang malas bekerja dan hanya meminta belas kasihan orang lain saja. Atau malah mengambil hak orang lain yang bukan haknya. Anak-anak jalanan atau bandit-bandit liar misalnya.
Aku jadi teringat kata-kata Eyang “ Tanamlah maka kamu akan memetiknya. Dan janganlah memetik tanaman orang lain yang bukan hak kamu.”
“Ssrreet…aduh” hampir saja aku terpeleset, dahan yang kupijak agaknya kurang bersahabat. Setelah aku memetik beberapa buah dan menjatuhkanya ke tanah aku turun dengan hati-hati, karena aku takut terpeleset lagi. Lalu ku ambil buah mangga yang tadi Aku jatuhkan. Ku mulai mengelupas mangga itu dengan pisau yang dari tadi kusiapkan.
“Cicipin dulu ah.. wah manisnya.”
Karena saking enaknya makan mangga Aku tidak sadar kalau sudah makan empat mangga dan baru akan habis yang kelima. Belum habis mangga yang kelima mendadak perutku mules. Langsung saja kutancap gas pol kemudi Ku arahkan ke kamar mandi. Aduh sial sekali ternyata ada orang di dalam kamar mandi. Rupanya Eyang purti sedang mandi. Karena sudah darurat sekali kuketuk pintu kamar mandi dengan sedikit keras.
“Tok…tok…tok…”
“Ya sebentar”
“ Ma’af Eyang , bisa lebih cepat lagi gak?”
“Sebentar toLe. Yang sabar sedikit gitu lho”
“Sudah di ujung tanduk nih Eyang”
“Antri dong . antre kan termasuk sikap warga negara yang baik”
“Iya Eyang tetapi ini tidak bisa dibendung lagi”
“Ya sini”. Kata Eyang sambil membuka pintu kamar mandi.
Langsung saja ku serobot kedudukan kamar mandi setelah Eyang putri keluar. Tanpa basa-basi kukeluarkan semua yang dari tadi mengetuk-ngetuk pintu exitku.
“Ah lega” kataku setelah keluar dari kamar mandi, dengan memegang perutku.
“Kenapa to le”
“Ini Eyang perutku mendadak sakit”
“Makanya kalau makan mangga mbokya di bagi-bagi”
“Lho kok Eyang tahu”
“Ya iya lhawong pisau sama kulitnya saja nggak di beresin. Habis berapa kamu?”
“ Lima kurang sedikit Eyang”
“Ya sudah sekarang sudah tidak sakit lagi kan ? kalau sudah beresin tu pisau dan kulit magganya”
“Ya Eyang”
“Oh .. iya sehabis beres-beres langsung mandi ya sudah hampir ashar ni”
“Siap Eyang”
Aku membereskan pisau dan kulit pisang yang berserakan di bawah pohon mangga samping rumah. Lalu mandi, wudhu dan langsung pergi ke masjid. Karena kali ini aku harus menggantikan Paklik adzan ashar. Karena Paklik sedang mengantar adik les di kota dan baru pulang, sekitar pukul lima.
Aku langsung pulang setelah selesai sholat ashar .Karena katanya sekarang akan ada pemadaman bergilir. Seperti biasa pemadaman bergilir ini jatuh setiap tangal lima. Aku harus menyiapkan senthir ( obor kecil terbuat dari botol yang berisikan minyak tanah ) untuk nanti malam. Sentir kuambil di tempah biasa di samping lemari. Ku ambil lalu Ku periksa sumbunya apakah masih bagus atau tidak. Setelah memastikan semuanya layak, kemudian Aku mengisinya dengan minyak tanah.
Karena hari sudah cukup petang, Aku mengambil sentir yang tadi kusiapkan. Ku membakar ujung sumbu sentir itu dan ruangan pun menjadi lebih terang dari sebelumnya. Karena dari tadi aku sibuk mengurusi penerangan rumah, Aku jadi lupa kalau harus memberi makan kambing Eyang yang ada di kandang yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah Eyang hanya sekitar 10 meter dari rumah Eyang. Ku ambil sebuah sentir dan Aku pergi menuju kandang . Setelah selesai mengerjakan semuanya dari memberi makan kambing sampai memasukkan ayam yang dari tadi setia menunggu di pintu masuk kandang.
“Yan..Yan “ Eyang memanggilku.
“Ya Eyang”
“Sudah magrib sana pergi ke masjid”
“Ya Eyang sebentar”
Pukul 05.45 Aku berangkat ke masjid bersama teman-teman, kedua Eyang ku dan juga Paklikku. Aku dan teman-temanku tidak pernh pulang dari masjid sebelum selesai sholat isya’. Kami mengaji untuk belajar ilmu agama di masjid yang di ajar oleh Ustad Yani., malam ini aku belajar membaca Al-qur’an . karena walaupun umurku sudah 17 tahun aku belum begitu mahir dalam membaca Al-qur’an.
Adzan isya’ telah dikumandangkan tak lama kemudian sholat isya’ didirikan . setelah selesai sholat isya’ Aku ikut thalil dan mendengarkan kultum. Tetapi belum selesai kultum ada tetangga yang memanggil Eyang dan nadanya seperti tergesa-gesa.
“Pak … Pak ..Nariyo!!!!!!!!!”
“Ya ada apa pak?”
“Gawat pak kebakaran”
“Dimana pak ? apa yang terbakar?”
“Kandang Pak Nario terbakar”
“Ada apa dengan kandang saya?”
“Iya cepat pak”
Eyang romo dan semua orang yang ada di masjid berhamburan pergi ke rumah Eyang Akupun tidak ketinggalan rombongan tersebut, ibu-ibu pun juga sama. Kultum yang belum selesai di tinggal begitu saja.
Kedaan menjadi berbeda malam hari ini. Desaku menjadi ramai, bukan karena ada kontes dangdut atau pertunjukan wayang. tetapi karena harus menahlukan api yang sedang mengamuk. Sebentar saja api sudah membesar dan hampir semunya terbakar . Kambing-kambing di kandang sudah tak sabar keluar dari kandang yang sudah seperti neraka. Mereka mengamuk dinding kandang yang terbuat dari anyaman bambu. Tapi apa boleh buat tak ada satupun yang berani mendekat dari kami.
Kami sibuk memadamkan api dengan alat seadanya. Ada yang mengunakan baskom ,ember, dan peralatan lain yang bisa digunakan untuk mengambil air. Kamipun harus menimba untuk mendapatkan air..
Paklik berusaha untuk mendatangkan pemadam kebakaran dengan menelponya. Tapi sialnya tidak nyambung-nyambung juga, karena posisi kami yang beradaa di desa. Sehingga sinyal kurang kuat .
“Selamat malam Pak, saya melaporkan kalau ada kebakaran di desa kami. Tepatnya di desa Madureso kecamatan Temanggung.”
“Ya pak kami segera menuju ke lokasi”
Tampaknya Paklik berhasil menghubungi petugas pemadam kebakaraan. Tetapi bantuan yang kami tunggu-tunggu tidak juga datang. Karena api sudah sangat besar wargapun tidak lagi berani mendekat dan hanya diam menunggu nasib. Karena mereka sudah lelah dan tampaknya sudah tidak ada lagi yang bisa di selamatkan. Suara kambing yang tadinya terdengar sekarang sudauh tidak lagi terdengar. Ibu-ibu yang melihat hanya menjerit-jerit dan bingung mau berbuat apa.
Ahirnya api sudah mulai mereda, tetapi bukan karena pemam kebakaran sudah tiba namun karena memang sudah tidak adalagi yang akan dibakar. Semuanya hangus tak terkecuali, tiga ekor kambing dan empat ekor ayam sudah menjadi sate panggang dan sudah dimakan si jago merah.
Suara mobil pemadam kebakaran mulai terdengar, keras sekali suaranya. Tetapi apalah gunanya kalau api sudah tiada dan harta lenyap adanya. Petugas pemadam kebakaran hanya melongo melihat keadaan di kandang Eyang. Meskipun mobil pemadam kebakaran sudah bisa sampai ke lokasi tetapi sudah tidak ada gunanya lagi.
Petugas pemadam kebakaran meminta maaf kepada semua waraga terutama kepada Eyang. Mereka menjelaskan bahwa jalan yang dilalui sangat sempit dan tidak rata Sehingga menyulitkan mobil pemadam ke lokasi kebakaran. Eyang memaklumi kejadian tersebut karena memang begitu adanya.
Andai saja tidak ada pemadaman bergilir malam ini, andaisaja jalan-jalan bagus dan mudah dilalui, andaisaja akses telekomunikasi memadahi. Mungkin keadaan tidak akan seperti ini.
Setelah ditelusuri ternyata penyebab kebakaran adalah sentir yang tadi sore kubawa ke kandang dan lupa bembawanya kembali.
“Tahukah kamu hikmah apa yang dapat kamu petik dari kejadian ini?” tanya Eyang kepadaku. Namun aku tak bisa menjawab, aku hanya terdiam menunduk malu karena kecerobohanku. Lalu Eyang melanjutkan bicaranya.
“Tahukah kamu tentang senthir, tujuan orang membuat senthir memang untuk menerangi jika mati lampu. Namun bila senthir tersebut tidak dijaga ataupun lupa untuk mematikannya, maka akan menjadi malapetaka seperti ini”
“ Apakah kamu sudah bisa menebak hikmahnya?”
“ Belum, Eyang”
“ Senthir itu bagaikan amanat rakyat yang diemban oleh DPR. Namun mereka sering mengabaikannya, hingga menyengsarakan rakyatnya, itu sama saja dengan kebakaran ini, walaupun senthir sekecil apapun, namun tetap membahayakan bila tidak dijaga dengan baik”kata Eyang sambil memelukku. Kemudian beliau berkata lagi ”Dan janganlah kamu menyepelekan amanat yang sekecil apapun”. Kemudian beliau mengajakku tidur karena hari sudah malam.
Sebelum tidur aku memikirkan kata-kata Eyang. Dapatkah aku menjaga amanat jika aku menjadi anggota DPR agar rakyat menjadi sejahtera. Dan bisakah aku memperbaiki desa ini agar kejadian ini tidak berulang kembali.
*********
r14n_ontel@yahoo.com
Sederhana gak neko-n
Comments
Post a Comment