CERPEN INI DI IKUTKAN KE LOMBA CERPEN SANTRI SE INDONESIIA DALAM RANGKA HARI SANTRI NASIONAL TAHUN 2016 Nama : Eri Ariantoro “KOPIAH KUSUT”
CERPEN INI DI
IKUTKAN KE LOMBA CERPEN SANTRI SE INDONESIIA DALAM RANGKA HARI SANTRI NASIONAL
TAHUN 2016
Nama : Eri Ariantoro
“KOPIAH KUSUT”
17:10 WIB…
Bahrun
merapikan kopiahnya yang sedikit miring. Beberapa kali ia mengotak-atiknya dan
masih belum yakin kalau sudah benar dan lurus. Sementara Arjuna sahabat disampingnya justru acuh dengan sarungnya
yang sudah mulai keriting dan kopiahnya yang sudah luntur. Sahabatnya ini
memang sedikit tidak mementingkan penampilan malah cendererung selengan.
“Ayo
suwi temen ngopo… selak entek wektune Asyar ki (Ayolah kenapa lama sekali, waktu asyar hampir habis ini)!”
Bahrun
yang masih didepan cermin, menengok dan memperhatikan sahabatnya dari ujung
atas sampai bawah. Kopiah kumal, baju koko kusut, dan sarung keriting begitu
kontras dengan awaknya yang sebenarnya rupawan.
“Opo
kowe ora isin nek sowan Gusti ngango sandangan koyo ngono kui. Ngibadah ki
sandangan e kudu resik, apik sukur sukur nek wangi. (Apa kamu tidak malu sama Allah,pakai pakaian seperti it? beribadah itu
pakai pakaian yang rapi, baik, bersih dan wangi?)”
“Luwih
isin nek Sholat Asyar telat nganti mepet koyo ngene ngerti. (Lebih malu kalau Sholatnya telat sampai mau
habis waktunya gini tau!”
Bahrun
menggengkan kepala sembari meninggalkan sahabatnya masuk kedalam masjid. Arjuna
dengan santai berdiri di samping kanan sedikit kebelakang sahabatnya.
“Allahu
Akbar”
***
“Assamualaikum
Warohmatullah”
Hening
dan hanya terdengar suara dzikir lirih dari dalam masjid, namun Arjuna nampak
sedikit gelisah, Ia pun mencolek lengan temanya. Ia tampak tak sabar dan begitu
gelisah akhir-akhir ini.
“Run,
apa cita cita kamu?”
Bahrun
tidak begitu menghiraukan ocehan sahabatnya itu. Setelah berjabat tangan seusai
sholat ia langsung melanjutkan berdzikir disambung dengan berdo’a panjang.
Arjuna yang kecewa dengan sahabatnya tiba-tiba tergeletak tak berdaya dengan
suara khasnya. Tertidur dan mendengkur.
Tak
banyak santri di hari libur seperti ini. Kebanyakan dari mereka pulang kerumah
mereka masing masing. Libur panjang kenaikan kelas ini memang dijadikan
momentum untuk melepas rindu dengan keluarga di kampung halaman. Sedangkan bagi
mereka yang tumbuh besar di lingkungan pesantren sejak lahir hampir tidak ada
bedanya ketika musim liburan atau tidak karena mereka akan tetap berada di
ligkungan pesantren.
Mereka
adalah anak yang ditinggalkan orang tua mereka sebelum mereka mengenal,
ditinggalkan bahkan sebelum mereka sempat untuk sekedar memanggilnya ibu, atau
bahkan mereka yang sengaja dibuang dan ditelantarkan. Mereka hanya akan mengisi
hari libur mereka dengan pergi ke ladang pengasuh pondok pensantren tempat
mereka tinggal dan dibesarkan atau ketika kalau mereka beruntung mereka bisa
diajak liburan teman-teman mereka yang pulang kampung.
***
Subuh
baru saja usai, dingin lereng Gunung Andong membelai tubuh kurus yang duduk di
ujung teras masjid. Sarungnya membungkus seluruh tubuhnya hanya bagian wajah
saja yang berani menyentuh uap embun pagi ini. Giginya bergemerutuk, perutnya
sudah memberi kode. Pikirannya langsung membayang kan nasi hangat dengan lauk
namun hatinya tabah karena nyatanya hanya aka nada nasi dan sup yang lerlalu
banyak kuahnya dengan cabai yang digerus batu. Makanan sehari hari yang sungguh
patut disyukuri ketimbang harus mengemis.
Kaki
itu dipaksakan melangkah. Menyibak rerumputan basah yang belum bangun.
Menginjak batu kecil yang beriak dan berontak. Menuju dapur umum yang sepertinya
belum mengepul. Tertegun dan kecewa karena disitu belum ada apa-apa rupanya. Bu
Inayah masih berusaha menyalakan api dari kayu yang belum kering itu.
“Kulo
bantu pareng Bu (Boleh dibantu Bu?)”
“
Owhh kowe. Kene oleh (owhh …. Kamu. Boleh
sini)”
Dengan
sekuat tenaga Arjuna mengirup udara, dipenuhi perut kecilnya dengan udara
dingin kemudian ditiupkan angina yang terperangkap itudengan segera ke mulut
tungku api. Angin yang dihempaskan itu luput tak kena sasaran malah abu
berhambur dan menutupi sebagian besar mukanya. Bu Inayah tertawa melihat wajah Arjuna
yang bermake up abu.
“Piye
Sih… he he he (Bagaimana sih he he he)”
“Aduh
Bu, mataku kelilipan”
Bu
Inayah langsung mengambilkan air dari bak tampung. Byur… air sedingin es itu di
guyurkan ke mukanya yang seketika kaku. Bu Inayah masih menahan tawanya
sedangkan Arjuna nampak menahan malu.
“Cari
sarapan le?,, belum matang nih nasinya. Itu
ketela rebus kalau mau”
“Mau
bu Inayah!”
Arjuna
tak lagi merasa malu–malu, sebagai orang yang ia kenal sejak kecil Bu Inayah
sudah seperti keluarganya sendiri. Ia langsung mengambil ketela dan
mengkulitinya. “Bismillahirohmanirohim”
ketela langsung dipindahkan kedalam mulutnya. Dikunyah lembut dan
ditelan dalam-dalam. Rasanya sangat menyiksa.
***
Bahrun
sudah siap dengan sepeda kayuh andalannya yang ia pinjam dari pengurus
pesantren. Arjuna hanya melihat sahabatnya dengan iri. Bahrun hendak membeli
pakaian baru untuk mengganti beberapa pakaiannya yang sudah tidak layak. Bahrun
yang bercita cita sebagai pegawai kantoran sangat setuju jika penampilan adalah
factor penting untuk menuju karirnya kelak. Sementara Arjuna yang berkeinginan
menjadi pengusaha hanya terus menabung dan menabung bahkan tak begitu memperhatikan
penampilanya.
“Ayo
jun kita ke pasar beli peci. Itu punyamu udah kusut”
Arjuna
hanya melambaikan tangan tanda kalau ia tak mau
ikut. Bahrun yang sudah hafal sifat sahabatnya itu cuman mengangguk
dengan hati kecewa. Bahrun tak mempedulikan ia tetap berangkat kepasar sedangkan
Arjuna masuk ke biliknya, tubuhnya direbahkan di atas kasur keras yang ia beli
enam tahun lalu.
Arjuna
menatap langit-langit mulai meraba angan-angannya. Ia mulai membayangkan jika
ia nanti sudah cukup modal ia akan segera membuka usahanya. Ia mulai
membayangkan buah labu yang melimpah itu menjadi bahan utama usahanya mulai
membayangkan orang orang akan sibuk di rumah industrinya mulai membayangkan
membeli mesin yang canggih memasarkan dipasar atau di mall kota-kota besar dan
tersenyum melihat karyawanya menerima gaji darinya.
Arjuna
terhenyak dan bergegas mengambil tempat penyimpanan uangnya. Tabungan yang ia
kumpulkan selama Tujuh tahun terakhir ini. Ia mulai menghitung setiap lembar
dan kepingnya. Senyum bahagianya melihat tabungannya sudah cukup banyak, Tiga Belas
Juta. Nominal yang sudah cukup banyak untuk orang sepertinya. Uang yang didapat
dari pengasuhnya setiap bulan sebagai uang jajan atau sekedar membeli pakaian
murah. Ia bersyukur Pesantren mau mengurusnya, memberinya tempat tinggal,
mendidik dan membesarkanya dengan penuh kasih sayang.
“Allahuakbar Allahuakbar” tiba tiba adzah
dhuhur menyibak kesibukanya.
***
Lima
tahun kemudian….
Bahrun
dan Arjuna telah berpisah mereka telah merkubang dalam dunianya masing-masing.
Bahrun yang dari dulu ingin bekerja kantoran dipercaya membantu di kantor
kecamatan Grabag, Kemampuanya untuk mengetik dan mengelola arsip membuat ia
dengan mudah diterimasebagai tenaga honorer di Kantor Kecamatan Grabag,
Magelang. Sementara Arjuna masih sibuk mengurus labunya menimbangi dan
memeriksa labu yang baru ia beli dari petani. Hal yang masih sama dari mereka
adalah Bahrun berpakaian amat rapi sedangkan Arjuna masih setia dengan kopiah
kusutnya dan sarung yang kian keriting.
Ibu-ibu
mengkuliti labu dan memotong kecil-kecil uangtuk direbus. Mereka adalah
beberapa kayawan Arjuna yang sedang memulai uasahnya. Produknya adalah kurma tanpa
biji dengan merek “Berkah” yaitu dodol
kurma dengan toping coklat.
Dodol
labu dengan toping coklat “Berkah” ini tidak langsung bisa diterima dipasaran.
Arjuna harus beberapa kali merugi. Dua bulan pertama ia hampir tiap hari
membuang makan yang ia tarik dari warung-warung atau toko kecil rekanannya.
Makanan yang tidak tahan lama itu menjadi hambatan utama bisnis ini.
Tiba
tiba ia teringat sahabatnya dulu. Seperti apa dia sekarang? Mungkin dia sedang
duduk di kursi yang empuk diruangan ber AC, bisa bermain computer. Seringkah ia
ketoko perlengkapan iabadah itu? Pikirnya.
Ia
mulai percaya bahwa pakaian itu penting. Ternyata jadi pengusaha itu tidak
mudah. mungkin ia harus mulai mendaftar ke pabrik-pabrik menjadi tenaga kasar.
Atau mencoba meminta bantuan ke sahabatnya untuk membantunya. Tapi itu tidak
mungkin baginya. Cita-citanya bukan menjadi seorang pegawai atau pejabat. Ia
adalah calon serang pengusaha batinya.
Tiba
Ia di suatu titik jenuh dan dia benar-benar menghendtikan usahnya. Ia tak lagi
membeli labu dari para petani. Ia mulai merumahkan ibu-ibu yang ia pekerjakan. Namun
ia belum menyerah. Ia hanya berhenti untuk kembali belajar.
Ia
mencari referensi dari buku-buku resep, keuangan, dan pemasaran. Sehari hari ia
berkunjung ke para pengelola usaha yang sejenis. Ia pergi ke rumah getuk warna
khas Magelang, Ia pergi ke perpustakaan untuk membaca, pergi ke pasar untuk
membaca keinginan konsumen. Dan kemudian perlahan dikerjakan sendiri tanpa
mempekerjakan seorang pun selain dirinya.,
Akhirnya
setelah Sembilan bulan sejak dimulai, usaha ini sepertinya mulai mendapatkan
tempat di masyarakat. Pemasaran yang ia ubah yaitu dengan mengikuti stan-stan pameran meski harus
menerima dengan tempat kecil di tempat pameran karena biaya tempat yang mahal.
Kini ia mulai mendapatkan pesanan dari toko oleh-oleh di sekitar magelang dan
Jogjakarta.
Sekarang
rumah industrinya yang kembali ramai dengan ibu-ibu yang mengaduk adonan dan
beberapa dari mereka yang mulai mengepak kedalam kardus-kardus kemasan
“Berkah”. Ia tampak bersyukur dengan hasil pencapaianya sekarang ini.
Cita-citanya terwujud meski belum sampai punya mesin-mesin cangih seperti yang
ia impikan dulu.
***
Sore
hari…
Langkah
kaki yang berjalan dengan pasti tiba tiba terhenti. Matanya memperhatikan
dengan seksama pemandangan di depan sebuah toko perlengkapan sholat. Ia melihat Kakek
yang begitu lusuh dengan sandal jepit tipis. Kakek itu terlihat sedang menawar
untuk membeli sebuah kopiah hitam. Arjuna melihat kopiah yang dikenakan bapak
itu sungguh sudah tak layak, warna hitamnya sudah luntur dan berdebu.
Seperti
melihat dirinya dulu yang selalu berhenti didepan toko sangsama hanya sekedar
mengantar Bahrun membeli pakaian baru.
Sedangkan ia hanya melihatnya dengan sabar. Pikirannya kembali kemasa lalu
dimana ia tak pernah tahu siapa nama orang tuanya? Seperti apa rumah mereka? Apakah
senyum mereka semanis senyum orang tua teman temanya itu? Apakah mereka masih
hidup? Apakah mereka mngingatnya kalau masih hidup? Pertanyaan itu begitu saja
muncul ke pikirannya yang mulai berada dibawah sadar.
Ia
kemudian menghampiri toko perlengkapan sholat itu. Ia kemudian membeli sebuah kopiah
yang tadi ditawar seorang Kakek tua tadi. Harga yang cukup murah bagi dirinya
sekarng ini. Segera ia membayar dan mebungkusya segera mencari Kakek yang sudah
meninggalkan toko tersebut. Matanya menelisik setiap inci pasar, namun belum
ditemukan juga. Dia mulai putus asa dan berjalan untuk kembali ke rumah. Ia
menuju tempat parkir untuk mengambil mobil box nya.
Tak
disangka ia melihat orang yang ia cari sedang duduk di bawah pohon dengan
mengibaskan kopiah lusuhnya untuk mengusir panas. Arjuna mempercepat langkahnya
namun iapun kembali gagal bertemu dengan Kakek itu, karena sang kakek telah
naik angkutan. Arjuna semakin mempercepat langkah mengambil mobil boxnya dan
membuntuti angkot tersebut.
Ia
melihat Kakek itu turun dan berjalan menyusuri jalan kecil. Arjuna memarkir
kendaraannya di pinggir jalan dan berlari kecil sembari membawa kopiah yang
tadi ia beli.
“Nyuwun
sewu Mbah, Kolo wau badhe mindah kupluk niki? (Permisi kek. Kakek tadi mau beli kopiah ini?”
“Iyo
nang, nanging regane larang! (Iya, tapi
harganya mahal!)”
“Monggo
kulo paringi, njenengan tampi nggeh Mbah! (Ini
saya kasih saja pak semoga bapak berkenan menerima!)”
Kakek
itu tampak bingung sekaligus bahagia. Bagaimana mungkin ada orang yang tak
dikenal tiba tiba memberi kopiah yang dinginkannya tadi. Tangannya menolak
namun hatinya sangat menginginkannya.
“
Ora usah Nang, Iki isih iso dingo! (Tidak
usah nak, saya masih bisa pakai peci ini!)”
“Tidak
apa apa kek, mohon diterima ya. Semoga berkah Kek”
Sang
Kakek yang memang sangat menginginkan peci itu tak lagi kuasa menolak. Senyum
bahagia terkembang dari bibirnya. Batanya berbinar arimatanya tertahan, tak
sangup berkata ia hanya mnyalami dan memeluk Arjuna.
“Matur
nuwun Nang (Terimakasih nak)” katanya
terbata
Arjuna
hanya mendekap lebih erat tubuh renta itu, bagai memeluk Ayah yang hanya ada
dalam bayangnya. Seperti inikah jika orang tua ku masih ada. Bahkan hanya ini
yang mungkin dia ingin sejak kecil. Hadirnya seorang ayah di hidupnya. Arjuna
kembali ke rumahnya dengan perasaan bangga.
Bersyukur
telah bisa berbagi kepada sesama. Ia kembali kerumahnya yang kini juga
merupakan rumah industry usahnya, panti asuhan, tempat belajar bagi anak-anak
yang kurang beruntung seperti dirinya dulu. Ia selalu mengajarkan kepada anak-anak
asuhnya untuk selalu bersemangat, teguh, rajin belajar, sabar, dan ikhlas.
Arjuna
selalu menginginkan anak asuhnya untuk belajar agar mereka menjadi pegawai,
pejabat atau pengusaha seperti dirinya. Ia sangat yakin bahwa kehidupan mereka
akan jauh lebih baik ketika mendapatkan pendidikanyang baik. Bahwa akan lebih
banyak orang yang peduli dengan orang-orang seperti mereka. Bahwa bangsanya
tidak akan pernah alpa dari keadaan
orang orang seperti mereka karena orang-orang yang mulia akan terus lahir.
Bahwa orang orang tangguh akan tercetak, bahwa orang orang ikhlas akan ters
bertambah, dari tempat yang baik dan mulia seperti di Mangli, lereng gunung
Andong Magelan.
Kini
Arjuna bergabung dengan asosiasi pedangang di sekitar Magelang. Di asosiasi itu
dia belajar bersama teman-teman pengusaha yang lain. Mereka saling berbagi
ilmu, saling mengingatkan bahwa harus berbagi. Asosiasi juga selalu
mengingatkan untuk taat membayar pajak. Bahkan bagi Arjuna membayar pajak
adalah suatu kebanggaan selain ia juga rutin bersedekah dan berzakat. Karena Ia
bisa mematuhi kewajiban sebagai warga negara Indonesia yaitu bela negara dan
membayar pajak. Ia berpikir pahwa pasal 34 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyebutkan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh
negara” dan sila ke empat dari pancasila
akan terwujud ketika mereka yang mempunyai kewajiban kepada negara dengan suka
cita memenuhinya.
Itulah
yang ia dapat di pondook pesantren dulu bahwa sang kyai selalu menanamkan
persatuan dengan berjamaah sholat, keadilan dengan makan bersama, belajar
bersungguh sungguh. Nilai seperti itu ditanamkan oleh para pengasuhnya untuk
membentuk manusia yang mau bekerja keras, bersatu dan berbagi.
Hari
raya Idul Adha tahun ini Arjuna berqurban Tujuh ekor kambing gemuk yang
dibagikan ketetangga tetangganya. Ada pemandangan yang jauh berbeda dengan Lima
Belas Tahun yang lalu yaitu banyak sekali anak-anak seumuran dia dulu yang
memenuhi lapangan untuk Sholat Ied berjamaah. Mereka tampak ceria dengan peci
baru mereka yang diberika cuma-cuma oleh Arjuna sebagai bentuk rasa syukurnya.
Sepertinya ia banyak belajar dari kopiah kusut yang selalu ia pakai dulu.
***
Comments
Post a Comment