REVIEW JURNAL PERSEPSI LAPORAN KEUANGAN DAN SOSIAL TERHADAP PERSPEKTIF PERBANKAN SYARIAH STUDI KASUS KOTA SAMARINDA
REVIEW
JURNAL
PERSEPSI LAPORAN KEUANGAN DAN SOSIAL TERHADAP
PERSPEKTIF PERBANKAN SYARIAH
STUDI KASUS KOTA SAMARINDA
Disusun oleh:
1.
Eri Ariantoro NPM:
14.0102.0081
2.
Azwar Wicaksono Heru Saputro NPM: 15.0102.0216
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI
TAHUN 2014/2015
A.
PENDAHULUAN
Perbankan
Islam merupakan salah satu lembaga keuangan yang menyediakan produk-produk
keuangan yang tidak melanggar Syariah Islamiyyah. Dalam kegiatannya, Perbankan
Islam diinisiasi sebagai respon atas sistem ekonomi modern yang dibangun
berdasar sistem berbasis bunga (Ahmad, 2000).
Perbankan
Islam telah berkembang menjadi lebih dari 300 lembaga yang tersebar di 75
negara, termasuk Amerika Serikat melalui perusahaan seperti Michigan berbasis
Bank University, serta tambahan 250 reksadana yang sesuai dengan prinsip
Syariah.
Kegiatan
Perbankan Islam melandaskan diri pada Syariah sebagai dasar untuk semua aspek
kehidupan dan tidak memisahkan antara urusan agama dan hal-hal duniawi. Sebagai
contoh, aspek yang paling penting dari ajaran Islam adalah larangan riba dan
persepsi uang sebagai alat tukar dan sarana untuk melaksanakan kewajiban
keuangan, tetapi bukan merupakan komoditas.
Dengan
demikian, perbankan Islam mengusung konsep berbagi keuntungan dan kerugian
sesuai dengan konsep Islam dimana "keuntungan adalah bagi mereka yang
menanggung risiko". Perbankan Islam menolak bunga sebagai biaya untuk
penggunaan uang dan pinjaman sebagai sarana investasi karena uang hanya dapat
dimanfaatkan oleh sektor-sektor produktif. Statement of Financial Accounting
(SFA) No. 2 AAOIFI tentang the Concepts of Financial Accounting for Islamic
banks and Financial Institutions paragraf 10-16 menjelaskan peran perbankan
Islam adalah sebagai :
a. Pengelola
investasi
b. Investor
c. Penyedia
jasa keuangan
d. Penyedia
layanan sosial.
Konsep
perbankan Islam juga mewajibkan bank untuk memainkan peran dalam pengembangan
sumber daya manusia. Dengan demikian, fungsi ini bisa membuat perbankan Islam
menjadi bermanfaat bagi masyarakat terutama sebagai sarana distribusi kekayaan.
I
slam
menekankan konsep tanggung jawab sosial dan menjelaskan pentingnya peran Zakat
dan Qordhul Hasan dalam kehidupan menurut Anas dan Mourina (2009). Zakat
mendorong umat Islam untuk memurnikan kekayaan individu dengan mendistribusikan
ke kelompok masyarakat tertentu seperti orang miskin dalam rangka redistribusi
pendapatan dan kekayaan diantara merekat untuk memberikan kesetaraan dan
keadilan standar hidup.
Sementara
Qardhul Hasan adalah pemberian pinjaman dengan pengembalian tanpa imbalan
dimana ajaran Islam mendorong Muslim untuk menyediakan modal lunak bagi rakyat
miskin. Anas dan Mourina (2009) menunjukkan bahwa kontrak ini dapat
memfasilitasi masyarakat miskin untuk menciptakan lapangan kerja, pasar baru
dan usaha bisnis dengan menggunakan jasa - jasa mereka, keterampilan dan
keahlian. Dengan demikian, masalah pengangguran dapat terhapus dari masyarakat.
Iqbal
dan Mirakhor (2007) mengkategorikan Qardhul Hasan sebagai kontrak kesejahteraan
sosial, yang melibatkan individu dan masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraan bagi yang kurang beruntung. Oleh karena itu, kedua jenis kegiatan
sosial seharusnya didorong untuk memperkuat peran perbankan Islam di masyarakat
serta mendorong keunikan kegiatan operasi perbankan Islam dibandingkan dengan
lembaga keuangan konvensional.
Maali
et al. (2003) menegaskan bahwa bisnis yang berdasarkan ajaran Islam Islam
seharusnya 5 mengungkapkan semua informasi yang diperlukan untuk umat
(masyarakat Islam) karena mereka memiliki hak untuk mengetahui kondisi
organisasi sebagai bagian dari pihak yang dapat mempengaruhi kesejahteraannya.
Al-Mograbi
(Maali et al, 2003) menambahkan bahwa umat Islam bertanggung jawab atas
tindakan mereka dan seharusnya memperhitungkan ini tanggung jawab terhadap
masyarakat di mana mereka tinggal karena tindakan mereka mempengaruhi
masyarakat. Oleh karena itu, perbankan Islam seharusnya lebih baik untuk
mengungkapkan mereka kegiatan sosial kepada masyarakat sehingga masyarakat akan
memahami peran perbankan Islam untuk kemajuan semua pihak, terutama umat Islam.
Jadi,
sangat jelas bahwa fungsi bank Islam sangat berbeda dengan fungsi bank
konvensional. Oleh karena itu, penting bagi perbankan Islam untuk mengembangkan
konsep - konsep yang sesuai dengan ajaran Islam karena konsep-konsep yang
dikembangkan oleh akuntansi keuangan konvensional tidak dapat memenuhi fungsi
perbankan Islam.
Komponen
stakeholder tidak hanya mengacu kepada pemegang saham tetapi juga melibatkan
pihak yang tidak secara langsung berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan
keputusan seperti karyawan, nasabah, pelanggan, dan Dewan Pengawas Syariah
(DPS), (Hasan , 2008).
Individu,
atas nama perusahaan, juga seharusnya bertanggung jawab kepada masyarakat
walaupun akuntabilitas utamanya adalah untuk Allah (Sulaiman, 2005).
B.
TUJUAN
DAN MANFAAT
Secara
khusus, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis beberapa isu tentang
pelaporan sosial oleh perbankan Islam di Indonesia dengan meneliti persepsi dua
kelompok yang berbeda, seperti pegawai bank islam dan akademisi tentang dua
hal, yaitu:
pertama,
tujuan utama pelaporan sosial dari perspektif Islam
kedua,
jenis informasi pelaporan sosial dari perspektif Islam yang seharusnya
diungkapkan oleh perbankan Islam bagi para penggunanya.
Pelaporan
sosial oleh perbankan Islam menjadi topik utama dalam penelitian ini karena
beberapa alasan :
·
Pertama, masyarakat Muslim perlu sebuah
model baru perbankan Islam yang melayani dengan lebih adil dan mudah untuk
diakses.
·
Kedua, telah banyak studi pada
perusahaan-perusahaan barat yang fokus pada penyampaian tanggung jawab sosial
perusahaan sejak lama (misalnya Gray, Owen, dan Maunders (1987), Guthrie dan
Parker (1989), Ness dan Mirza (1991), Williams dan Pei (1999), Depoers (2000),
dan Woodward, Edwards, dan Birkin (2001)). Hal ini menarik karena biasanya
perusahaan-perusahaan barat lebih memperhatikan aspek - aspek ekonomi daripada
aspek sosial (Haniffa, 2002).
Maali
et al. (2006) mengkategorikan tiga tujuan umum penyampaian tanggung jawab
sosial oleh perbankan Islam, yaitu :
1. Menunjukkan
kepatuhan terhadap prinsip-prinsip Syariah Islam, khususnya perlakuan adil
kepada berbagai pihak 9
2. Menunjukkan
sejauh mana operasi bisnis telah mempengaruhi kesejahteraan masyarakat Islam
3. Membantu
umat Islam dalam melaksanakan kewajiban agama mereka seperti pembayaran Zakat.
(Maali
et al., 2006) mencoba mengeksplorasi penyampaian informasi informasi sosial di
perbankan Islam terutama kategori informasi keuangan dan nonkeuangan yang
berkaitan dengan tanggung jawab sosial. (Maali et al, (2006) menggunakan
content analysis dengan menggunakan instrumen checklist yang terdiri dari
beberapa item yang seharusnya diungkapkan dalam pelaporan sosial bank Syariah
sebagai berikut :
a. Penyampaian
Opini Dewan Pengawas Syariah
b. Penyampaian
transaksi yang melanggar Syariah
c. Informasi
sumber dan distribusi dana Zakat
d. Informasi
sumber dan distribusi dana Qardhul Hasan
e. Pelaporan
kegiatan sosial lain
f. Pelaporan
informasi mengenai pengembangan SDM
g. Pengungkapan
fakta perlakuan terhadap nasabah yang terlambat membayar dan/ mengalami
kebangkrutan
h. Pengungkapan
informasi tanggung jawab lingkungan
i.
Aspek keterlibatan perbankan Islam dalam
pemberdayaan masyarakat.
C.
PENGEMBANGAN
PROPOSISI DAN HIPOTESIS
Studi
ini ingin menunjukkan bahwa para stakeholder perbankan Islam di Samarinda
menganggap bahwa pelaporan sosial dari perspektif Islam relevan untuk
dipraktekkan karena akan meningkatkan transparansi tanggung jawab sosial
melalui media yang relevan seperti laporan tahunan. Dengan demikian, proposisi
pertama terkait dengan persepsi para stakeholder untuk tujuan pelaporan sosial
dari perspektif Islam dalam pernyataan berikut :
·
P1: Para stakeholder perbankan Islam di
Samarindaa perlu mengetahui bahwa pelaporan sosial dari perspektif Islam
relevan untuk dipraktekkan Selain itu, penelitian ini juga ingin menunjukkan
kemungkinan perbedaan persepsi antara para stakeholder, yang terdiri dari para
user dan preparer laporan keuangan, karena perbedaan dalam pengalaman mereka,
latar belakang pendidikan, dan posisi mereka di 11 bank Syariah.
·
P2: Para stakeholder perbankan Islam
perlu mengetahui bahwa informasi tentang pelaporan sosial dari perspektif Islam
secara signifikan penting untuk diungkapkan oleh perbankan Islam Penelitian ini
juga mengkaji kemungkinan perbedaan persepsi antara stakeholder tentang
informasi yang akan diungkapkan dalam pelaporan sosial dari perspektif Islam,
karena responden memiliki latar belakang yang berbeda dari pendidikan,
pengalaman kerja, dan posisi mereka terhadap perbankan Islam.
·
H1: Ada perbedaan persepsi yang
signifikan antar stakeholder yang berbeda di perbankan Islam terhadap tujuan
pelaporan sosial dari perspektif Islam Kelompok penyusun laporan keuangan di
perbankan Islam (preparer) dan pengguna (user) dapat memiliki perbedaan
persepsi terhadap pelaporan sosial dari perspektif Islam. Pembuat laporan
keuangan sebagai bagian dari perusahaan cenderung untuk meminimalkan biaya
pelaporan untuk memastikan efisiensi biaya karena tujuan utama mereka adalah
kinerja ekonomi.
·
H2: Ada perbedaan persepsi yang
signifikan antara pengguna (user) dan penyusun (preparer) laporan keuangan
perbankan Islam terhadap tujuan utama pelaporan Sosial Baydoun dan Willett
(2000) berpendapat bahwa LKS seharusnya mempromosikan transparansi melalui
penyampaian informasi keuangan.
·
H3: Ada perbedaan persepsi yang
signifikan antara stakeholder yang berbeda terhadap informasi yang seharusnya
diungkapkan dalam pelaporan sosial dari perspektif Islam Persepsi dari penyusun
dan pengguna laporan keuangan perbankan Islam bisa jadi juga berbeda karena
penyusun menganggap bahwa pelaporan sosial dari perspektif Islam hanya terkait
dengan bisnis utama bank Syariah.
·
H4: Ada perbedaan persepsi yang
signifikan antara penyusun dan pengguna laporan keuangan perbankan Islam
terhadap informasi yang seharusnya diungkapkan dalam pelaporan sosial dari
perspektif Islam
D.
HASIL
DAN PEMBAHASAN STATISTIK
Diskriptif
Kuesioner dikirim berdasarkan lokasi responden masing-masing. Kuesioner untuk
kelompok penyusun (karyawan bank islam) dikirim melalui kantor-kantor pusat
masing-masing bank Syariah di Samarinda. Kuesioner untuk Akademisi mahasiswa
Perbankan Syariah dikirim melalui Fakultas Ekonomi Jurusan Perbankan Syariah di
Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda yang dipilih, Hasilnya dapat dilihat
pada tabel 1 dibawah ini :
1. ada
perbedaan persepsi yang signifikan antara para stakeholder pada tujuan
pelaporan sosial dari perspektif Islam
Temuan
ini mungkin sejalan dengan argumen Al-Khater dan Naser's (2003) bahwa latar
belakang responden seperti pendidikan dan pengalaman kerja berpotensi
menimbulkan persepsi yang berbeda. kedua kelompok responden dalam penelitian
ini menunjukkan bahwa mereka memiliki latar belakang pengalaman kerja, tingkat
pendidikan, dan posisi pekerjaan yang berbeda di bank Islam. Karyawan Bank
Islam merepresentasikan dirinya sebagai bank Islam secara langsung, sementara
akademisi perbankan syariah yang tidak berhubungan langsung tetapi mereka
memiliki pemahaman yang cukup terhadap praktek perbankan Islam.
2. Studi
ini menemukan bahwa para stakeholder memiliki dampak berbeda dalam persepsi
terutama atas laporan sebagai berikut:
·
Memberikan informasi yang relevan pada
tanggung jawab bank terhadap masyarakat
·
Untuk memberikan informasi tentang
bagaimana bank seharusnya adil kepada karyawan dan masyarakat
·
Untuk memberikan informasi tentang
kegiatan bisnis yang dapat mempengaruhi lingkungan
·
Untuk mengetahui akuntabilitas sosial
sebagai bentuk ibadah kepada Allah (Ibadah)
·
Untuk menyediakan informasi yang relevan
tentang kebijakan ketenagakerjaan
·
Untuk menyediakan informasi yang relevan
pada hubungan bank dengan masyarakat.
3. Ada
perbedaan yang signifikan ketika mengujian hipotesis memeriksa seluruh tujuan
mean ranks untuk mengukur perbedaan persepsi antara kedua kelompok
Temuan
ini menunjukkan bahwa penyusun laporan keuangan dan pengguna berpendapat
berbeda karena keterlibatan para penyusun laporan keuangan dalam operasi bank
Islam lebih dari intensif dibandingkan pengguna. Namun, karyawan bank islam
yang seharusnya secara langsung senantiasa terlibat dalam bank Islam, ternyata
tidak cukup intensif. Mereka hanya terlibat terutama jika ada permasalahan
Syariah yang perlu diselesaikan misalnya mengenai kehalalan suatu produk dan
jasa. Oleh karena itu, kedua kelompok itulah yang paling mungkin memiliki
perbedaan pendapat sebagaimana dikemukakan oleh Al-Khater dan Naser (2003)
4. Semua
informasi dianggap penting untuk mengungkapkan dari perspektif para
stakeholder. Laporan Karyawan Bank Islam dan penyediaan informasi Zakat telah
mendapat lebih dari 80% respon dari 178 responden. Ini merupakan penemuan
penting karena kedua informasi tersebut memiliki karakteristik yang unik yang
membedakan bank Islam dengan bank konvensional. Laporan Karyawan Bank Islam
memberikan peran dan tindakan dalam mengawasi dan mengevaluasi operasi dari
sebuah bank Islam. Sedangkan penyediaan informasi Zakat menggambarkan
akuntabilitas bank Islam dalam memenuhi kewajiban mereka untuk membayar zakat berdasarkan
prinsip-prinsip Syariah.
5. Mereka
tampaknya memiliki preferensi yang sama terhadap informasi yang seharusnya
diungkapkan dalam pelaporan sosial dari perspektif Islam. Selain itu, menarik
untuk diamati bahwa informasi Laporan Karyawan Bank Islam, pemberian zakat,
kegiatan amal dan sosial, dan transaksi yang dilarang (haram) dipilih oleh
semua kelompok stakeholder sebagai lima jawaban peringkat tertinggi.
Alasan
yang mungkin untuk temuan di atas adalah bahwa baik penyusun maupun pengguna
laporan keuangan mungkin berpikir bahwa empat informasi tersebut mewakili
akuntabilitas sosial dari perbankan Islam untuk stakeholder mereka. Para
penyusun tidak mungkin berpikir bahwa informasi tersebut akan menambah beban
kepada mereka dalam.
E.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui persepsi berbagai kelompok stakeholder pelaporan
sosial dari perspektif Islam dari perbankan Islam di Samarinda. Dua kelompok
stakeholder ambil bagian dalam survei ini, yaitu Karyawan Bank Islam dan
Akademis Mahasiswa Perbankan Syariah . Secara keseluruhan, temuan mengungkapkan
bahwa para stakeholder perbankan Islam di Samarinda memiliki pandangan positif
terhadap pelaporan sosial dari perspektif Islam. Tiga temuan penelitian yang
umumnya menunjukkan pandangan positif sebagai berikut :
a. Responden
beranggapan bahwa semua laporan adalah relevan untuk tujuan pelaporan sosial
dari perspektif Islam. Temuan ini juga telah mewakili pandangan mereka tentang
pelaporan sosial dari perspektif Islam yang relevan untuk dipraktekkan dalam
rangka memenuhi tanggung jawab perbankan Islam kepada para stakeholder mereka.
b. Para
stakeholder mempersepsikan bahwa semua informasi yang diusulkan dalam
penelitian ini dianggap penting untuk diungkapkan dalam pelaporan sosial dari
31 perspektif Islam, seperti: laporan Karyawan Bank Islam, pemberian zakat,
kegiatan sosial, transaksi nonhalal, informasi produk dan jasa, pemberdayaan
masyarakat, pinjaman Qardhul Hasan, tanggung jawab kepada karyawan, dan
keterlambatan pembayaran oleh nasabah dan/klien yang mengalami kebangkrutan.
PERBANDINGAN
DENGAN TEORY
Tujuan diciptakannya akuntansi syariah adalah terciptanya peradaban bisnis yang humanis,
emansipatoris, transendental dan teologikal. Konsekuensi ontologis upaya ini
adalah bahwa akuntan secara kritis harus mampu membebaskan manusia dari ikatan
realitas peradaban, beserta jaringan-jaringan kuasanya, kemudian memberikan
atau menciptakan relalitas alternatif dengan seperangkat jaringan-jaringan
kuasa Ilahi yang mengikat manusia dalam hidup sehari-sehari (ontologi tauhid).
Atau dengan kata lain bahwa secara ontologis,akuntansi
syariah pada dasarnya
ingin membebaskan manusia dari jaringan kuasa kapitalistik, atau jaring kuasa
semua lainnya yang membuat semu orientasi hidup manusia atau berpaling dari
kuasa Tuhan.
Menjawab tujuan penelitian yang pertama pertama,
masyarakat Muslim perlu sebuah model baru perbankan Islam yang melayani dengan
lebih adil dan mudah untuk diakses.
B.
PRINSIP
AKUNTANSI SYARI’AH
Nilai tersebut ialah fairness, ethics, honesty,social reponsibility dan truht.
Kelima nilai etika tersebut secara menyeluruh menjadi tiang dasar dari tegaknya akuntansi syariah sebagai instrumen bisnis.
Fairness merupakan perwujudan sifat netral dari seorang
akuntan dalam menyiapkan laporan keuangan sebagai sebuah indikasi bahwa prisip,
prosedur dan teknik-teknik akuntansi harus fair, tidak bias dan tidak parsial.
Nilai etika (ethics) erat kaitannya dengan profesi akuntan yang harus
memperhatikan nilai moral dari sebuah lingkungan. Nilai honesty adalah unsur
yang dapat menjamin terciptanya atau bertahannya kepercayaan masyarakat umujm
terhadap profesi akuntansi. Nilai social
responsibility adalah unsur
yang keempat yang pada dasarnya erat kaitannya dengan persepsi seseorang
tentang perusahaan. Perusahaan tidak lagi dipandang sebagai sebuah entitas yang
semata-mata mengejar laba (profit) untuk kepentingan pemilik perusahaan (shareholder),
atau untuk kepentingan yang lebih luas, yaitu stakeholder namun juga kepada
lingkungan sosial.
Kemudian nilai yang terakhir ialah truth. Truth dalam hal ini
dapat diartikan sebagai netralitas dan objektivitas. Truth sebagai netralitas
menunjukan bahwa seorang akuntan harus bersikap netral, seperti apa adanya,
tidak menyediakan informasi dengan cara tertentu yang cenderung menguntungkan
suatu pihak dan merugikan pihak yang lain. Sedangkan truth yang memeiliki nilai
objektif harus menunjukkan empat pengertian, yaitu a) ukuran yang digunakan
dalam akuntansi harus bersifat impersonal, b) ukuran tersebut berdasarkan
bukti-bukti yang diverifikasi, c) ukuran tersebut harus berdasarkan konsensus
para ahli yang dipercaya dan d) terdapat kerampingan (narrowness) dispersi
statistik dari ukuran-ukuran yang digunakan bila ukuran-ukuran tersebut dibuat
oleh orang yang berbeda. Unsur morlitas dalam akuntansi merupakan bagian
penting dalam memberikan suatu persepsi bahwa sebenarnya akuntansi tidak
terlepas dari nilai-nilai etika.
Fairness dalam prinsip akuntansi syari’ah menjawab
·
Tujuan penelitian yang kedua, telah
banyak studi pada perusahaan-perusahaan barat yang fokus pada penyampaian
tanggung jawab sosial perusahaan sejak lama
Perkembangan akuntansi syariah yang
ditujukan untuk menunjang perkembangan industri lembaga keuangan syariah,
hingga kini masih menjadi diskursus serius di kalangan akademisi akuntansi.
Diskursus tersebut ditujukan untuk mengetahui hubungan dengan pendekatan dan
aplikasi laporan keuangan sebagai bentukan dari konsep dan teori akuntansinya.
Perbedaan-perbedan yang terjadi mengarah pada posisi diametral pendekatan
teoritis antara aliran akuntansi syariah pragmatis
dan idealis.
·
Aliran pragmastis menilai bahwa
basic teori dan konsep akuntansi syariah tidak perlu jauh berbeda
dengan akuntansi konvensional selama tidak menanggalkan nilai syariah Islam.
Sedangkan aliran Idealis menginginkan adanya perbedaan yang hampir menyeluruh
antaraakuntansi syariah dan
akuntansi konvensional. Lebih jelasnya modifikasi yang dilakukan saat ini oleh
aliran pragmatis seperti penggunaan akuntansi dalam perusahaan Islami yang
memerlukan legitimasi pelaporan berdasarkan nilai-nilai Islam dan tujuan
syariah.
·
Asimilasi akuntansi konvensional
terhadap akuntansi syariah memang
terpola dalam kebijakan akuntansi seperti Accounting and Auditing
Standards for Islamic Financial Institutionsyang dikeluarkan AAO-IFI secara
internasional dan begitu juga PSAK No. 59, 101-106 di Indonesia yang merujuk
terhadap AAO-IFI.
Di sisi lain, aliran akuntansi syari’ah idealis
melihat asimilasi jelas tidak dapat diterima. Secara filosofis, akuntansi
konvensional merupakan representasi pandangan dunia Barat yang kapitalistik,
sekuler dan liberal serta didominasi kepentingan laba (Triyuwono 2006 dan
Mulawarman 2006a). Dan hal tersebut itu jelas berpengaruh terhadap konsep dasar
teoritis sampai bentuk teknologi akuntansi syariah.
Keberatan aliran idealis terlihat dari pandangannya mengenai Regulasi AAO-IFI
maupun PSAK No. 59, dan 101-106 IAI yang dianggap masih menggunakan konsep
akuntansi modern yang berbasis entity theory (seperti
penyajian laporan laba rugi dan penggunaan going concern dan accrual
basis dalam PSAK No. 59). Hanya saja secara tekstual, terdapat
informasi tambahan berkaitan pengambilan keputusan ekonomi dan kepatuhan terhadap
prinsip syari’ah.
Dan aliran idealis melihat bahwa
regulasi bentuk laporan keuangan yang dikeluarkan AAO-IFI, mengeluarkan bentuk
laporan keuangan yang tidak berbeda dengan akuntansi konvensional (neraca,
laporan laba rugi dan laporan aliran kas) dan juga menetapkan beberapa laporan
lain seperti analisis laporan keuangan mengenai sumber dana untuk zakat dan
penggunaannya; analisis laporan keuangan mengenai earnings atau expenditures yang
dilarang berdasarkan syari’ah; laporan responsibilitas sosial bank syari’ah;
serta laporan pengembangan sumber daya manusia untuk bank syari’ah
D.
MENJAWAB TEMUAN
STUDI BAHWA PARA STAKEHOLDER MEMILIKI DAMPAK BERBEDA DALAM PERSEPSI TERUTAMA
ATAS LAPORAN SEBAGAI BERIKUT
Di Indonesia, PSAK syariah yang
dikeluarkan oleh IAI yang merujuk pada fatwa DSN No: 14/ DSN-MUI/ IX/ 2000
masih menggunakan konsep accrual basis dan going
concern. Pemakaian accrual basis sebagai asumsi dasar,
disandarkan atas pada faktor dominan bank syariah yang mempunyai produk
financing dengan prinsip tijarah (murabahah, salam, dan ishtisna paralel),
karena produk tersebut pada intinya menyebabkan bank syariah mempunyai piutang.
Merujuk kembali kepada fatwa DSN No: 14/ DSN-MUI/ IX/ 2000 tentang sistem
distribusi hasil usaha dalam lembaga keuangan syariah. Menimbang bahwa
(1) accrual basis yakni prinsip akuntansi yang membolehkan
pengakuan biaya dan pendapatan didistribusikan pada bebrapa periode. (2) cash
basis yakni prinsip akuntansi yang mengharuskan pengakuan biaya dan
pendapatan saat terjadinya. Pertimbangan tersebut dilengkapi dengan
pertimbangan dari Dewan Standar Akuntansi Keuangan IAI yang memutuskan (1) pada
prinsipnya, lembaga keuanagn syariah boleh menggunakan sistem accrual
basis maupun cash basis dalam administrasi keuangan, dan (2) dilihat dari
segi kemashlahatan (al-ashlah) dalam pencatatan sebaiknya digunakan
sistem accrual basis, tapi dalam distribusi hasil usaha hendaknya ditentukan
atas dasar penerimaan yang benar-benar terjadi (cash basis). Semua
dengan catatan bahwa penerapan sistem harus disepakati dalam akad (Dwi
Suwiknyo: 2010)
Di samping itu, PSAK No. 59 yang
diterbitkan IAI adalah sebuah hubungan komplementer terhadap
Pernyataan Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI) Bank Indonesia.
Perkembangan selanjutnya di tahun 2007, Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK)
IAI kembali mengeluarkan enam PSAK syariah yang tidak hanya ditujukan kepada
industri perbankan syariah, akan tetapi keenam PSAK tersebut sifatnya lebih
umum agar bisa digunakan oleh semua lembaga keuangan syariah di Indonesia. PSAK
syariah tersebut mulai berlaku per 1 Januari 2008 dan disertai dengan Kerangka
Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah (KDPPLKS).
Keenam PSAK syariah yang telah disahkan ialah (1) PSAK 101 tentang penyajian
laporan keuangan syariah, (2) PSAK 102 tentang akuntansi murabahah, (3) PSAK
103 tentang akuntansi salam, PSAK 104 tentang akuntansi istishna’, PSAK
105 akuntansi mudharabah, dan PSAK 106 tentang Akuntansi Musyarakah.
Dan kemudian di tahun 2009, IAI menerbitkan PSAK No. 107 tentang Akuntansi
Ijarah.
Seperti pernyatan yang telah
diungkapkan di atas bahwa konsep akuntansi syariah yang dipakai IAI adalah
produk yang mengacu kepada standar AAO-IFI-IFI, banyak pihak (aliran idealis)
menilai bahwa PSAK terbitan IAI adalah produk turunan dari akuntansi
konvensional yang sangat mengedepankan egoisme lewat pedoman teori entitas (entioty
teory) yang diimplementasikan dalam konsep accrual basis dan going
concern.
Dampak dari implementasi konsep
accrual basis dan going concern yang diterapkan oleh IAI ialah
konsekuensi teknologis dengan digunakannya bentuk laporan keuangan seperti
neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas dengan modifikasi pragmatis.
Hasilnya ialah maksimalisasi laba oleh perusahaan dan pengakuan biaya private tanpa
memperdulikan biaya-biaya lingkungan. Sedangkan aliran idealis, memilih
melakukan perubahan-perubahan konsep dasar teoritis berbasis shari’ate ET
terhadap akuntansi syariah. Konsekuensi teknologisnya adalah penolakan terhadap
bentuk laporan keuangan yang ada; sehingga diperlukan perumusan laporan
keuangan yang sesuai dengan konsep dasar teoritisnya.
Bentuk teknologis yang dimaksud oleh
aliran idealis ialah perumusan ulang konsepValue Added (VA)
dan Value Added Statement (VAS) sebagai tuunan dari value
added itu sendiri. VA diterjemahkan oleh Triyuwono sebagai nilai
tambah yang berubah maknanya dari konsep VA yang konvensional. Substansi laba
adalah nilai lebih (nilai tambah) yang berangkat dari dua aspek mendasar, yaitu
aspek keadilan dan hakikat manusia.
Terjemahan konsep VA agar bersifat
teknologis untuk membangun laporan keuangan syari’ah disebut Mulawarman
sebagai shari’ate value added (SVA). SVA dijadikan source
untuk melakukan rekonstruksi sinergis VAS versi Baydoun dan Willett dan Expanded
Value Added Statement (EVAS) versi Mook et al., menjadi Shari’ate
Value Added Statement (SVAS). SVA adalah pertambahan nilai spiritual
(zakka) yang terjadi secara material (zaka) dan telah disucikan secara
spiritual (tazkiyah). SVAS adalah salah satu laporan keuangan sebagai bentuk
konkrit SVA yang menjadikan zakat bukan sebagai kewajiban distributif saja
(bagian dari distribusi VA) tetapi menjadi poros VAS. Zakat untuk menyucikan
bagian atas SVAS (pembentukan sources SVA) dan bagian bawah SVAS (distribusi
SVA).
SVAS lanjut Mulawarman terdiri dari
dua bentuk laporan, yaitu Laporan Kuantitatif dan Kualitatif yang saling
terikat satu sama lain. Laporan Kuantitatif mencatat aktivitas perusahaan yang
bersifat finansial, sosial dan lingkungan yang bersifat materi (akun
kreativitas) sekaligus non materi (akun ketundukan). Laporan Kualitatif berupa
catatan berkaitan dengan tiga hal. Pertama, pencatatan laporan pembentukan
(source) VA yang tidak dapat dimasukkan dalam bentuk laporan kuantitatif.
Kedua, penentuan Nisab Zakat yang merupakan batas dari VA yang wajib dikenakan
zakat dan distribusi zakat pada yang berhak. Ketiga, pencatatan laporan
distribusi (distribution) VA yang tidak dapat dimasukkan dalam bentuk laporan
kuantitatif.
Namun setidaknya, seperti apa yang
diharpkan pula oleh aliran idealis dalam PSAK yang telah diterbitkan oleh IAI
tidak mengakui adanya penentuan predetermined fixed rate (riba)on
capital karena dianggap pendapatan pemberi pinjaman tanpa membagi
resiko dengan pihak peminjam adalah tidak sesuai dengan syariah Islam. Dan PSAK
tersebut juga mampu mengakomodir prinsip profit and loss sharing yang
diterapkan oleh lembaga keuangan islam sebagai dasar operasional bisnisnya dan
mencantumkan beberapa elemen-elemen entitas syariah dalam bentuk laporan sumber
dana untuk zakat dan penggunaannya; analisis laporan keuangan mengenai earnings atau expenditures yang
dilarang berdasarkan syari’ah; laporan responsibilitas sosial bank syari’ah;
serta laporan pengembangan sumber daya manusia untuk bank syari’ah.
Comments
Post a Comment