MAKALAH AIK 3 MUHAMMADIYAH dan ISU ISU KONTEMPORER



MAKALAH AIK 3
MUHAMMADIYAH dan ISU ISU KONTEMPORER



Description: I:\Δ Smad-Lock (Brankas Smadav) Δ\logo1.jpg

Anggota :
1.      Ria Khanifah        (14.0102.0007)
2.      Siti Masruroh        (14.0102.0145)
3.      Ria Novita            (14.0102.0005)
4.      Sri Lestari             (14.0102.0001)
5.      Eri Ariantoro        (14.0102.0081)
6.      Rizal                     (14.0102.0165)
7.      Vella                     (14.0102.00
8.      Taufiq                   (14.0102.00



UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
2014/2015

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.    Latar Belakang
Penerapan Studi Islam dalam proses pengambilan keputusan di pengadilan itu selalu menjadi masalah, oleh karena rujukan yang digunakan oleh pengadilan atau mejelis hakim senantiasa beraneka ragam. Ia terdiri dari beragam kitab fiqh  dari berbagai aliran pemikiran (mazhab), yang berakibat munculnya keberagamaan keputusan pengadilan terhadap perkara yang serupa. Hal itu sangat merisaukan para petinggi hukum, terutama dari kalangan Mahkamah Agung dan Departemen Agama. Dengan diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam, kekosongan hukum itu telah terisi; dan kerisauan para petinggi hukum teratasi. Tentu saja, keseragaman keputusan pengadilan yang didasarkan pada KHI merupakan salah satu ujian efektifitas penerapan hukum tersebut.
Makalah ini disusun, untuk melihat sejauh mana pertentangan Draf Legal Kompilasi Hukum Islam. Dengan pembahasan sejarah dan proses lahirnya Kompilasi Hukum Islam, kelayakan Kompilasi Hukum Islam sebagai sumber pengambilan keputusan bagi para hakim di pengadilan agama, beberapa problem yang dihadapinya dan lain sebagainya.

1.2.    Rumusan Masalah
1.      Apa itu islam liberal?
2.      Apa itu islam dan terorisme?
3.      Apa itu islam dan pluralism beragama?
4.      Apa itu islam kesetaraan gender dan Feminisme?
5.   Apa itu Isu isu HAM?

1.3.    Tujuan Pembahasan
1.      Memahami islam liberal
2.      memahami islam dan terorisme
3.      Memahami islam dan pluralism beragama
4.      Memahami islam kesetaraan gender dan Feminisme
5.      Memahami Isu isu HAM





BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Islam Liberal
Menurut Owen Chadwik Kata “Liberal” secara harfiah artinya bebas (free) dan terbuka, artinya “bebas dari berbagai batasan” (free from restraint). Seandainya kita sifatkan dengan kata Islam berarti Islam yang bebas dan terbuka. Kita akui dalam Islam memang tidak ada paksaan namun bukan berarti bebas secara total. ‘Islam’ itu sendiri memiliki makna “pasrah”, tunduk kepada Allah dan terikat dengan hukum-hukum yang dibawa Muhammad SAW. Dalam hal ini, Islam tidak bebas. Tetapi disamping Islam tunduk kepada Allah SWT, Islam sebenarnya membebaskan manusia dari belenggu peribadatan kepada manusia atau makhluk lainnya. Jadi, bisa disimpulkan Islam itu “bebas” dan “tidak bebas”.
“Islam Liberal” adalah istilah Charles Kurzman dalam bukunya yang terkenal Liberal Islam: A Source Book.(Edisi Indonesia: Wacana Islam Liberal) Penggunaan istilah ini sendiri, seperti diakui Kurzman, pernah dipopulerkan oleh Asaf Ali Asghar Fyzee (1899-1981), Intelektual Muslim-India, sejak tahun 1950-an. Mungkin Fyzee orang pertama yang menggunakan istilah “Islam Liberal.”
Menurut Luthfie juga, istilah “Islam Liberal” mulai dipopulerkan sejak tahun 1950-an. Di Timur Tengah, akar-akar gerakan liberalisme Islam bisa ditelusuri hingga awal abad ke-19, ketika apa yang disebut “gerakan kebangkitan” (harakah al-nahdhah) di kawasan itu secara hampir serentak dimulai. Di Indonesia sendiri mulai timbul sekitar Tahun 1980-an yang dibawa oleh tokoh utama dan sumber rujukan utama komunitas Islam Liberal Indonesia, Nurcholish Madjid. Meski Cak Nur tidak pernah menggunakan istilah tersebut dalam gagasan-gagasan pemikiran Islamnya, tetapi ia tidak menentang ide-ide Islam Liberal.
Karna itu istilah Islam Liberal tidak beda halnya dengan gagasan-gagasan pemikiran Islamnya Cak Nur beserta kelompoknya yang tidak setuju dengan pemberlakuan syariat Islam (secara formal dalam Negara) serta yang selalu menyuarakan sekularisme, emansipasi wanita, persamaan satu agama dengan agama yang lain (pluralisme theologies), dan lain sebagainya.
Tokoh-tokoh yang di duga masuk dalam komunitas Islam Liberal dan menjadi kontributor mereka (Islam Liberal) adalah :
1.      Asaf Ali Asghar Fyzee (1899-1981), Intelektual Muslim-India.
2.      Charles Kurzman, Univercity of North Carolina.
3.      Abdallah Laroui, Muhammad V Univercity, Maroko.
4.      Mohammed Arkoun, Univercity of Sorbonne, Prancis.
5.      Fazlur Rahman, Direktur Lembaga Riset Islam, Pakistan.
6.      Hassan Hanafi, Pemikir Kontemporer Mesir.
7.      Ali Abdul Raziq, Ulama Al-Azhar (Telah dipecat oleh Haiat Kibaril Ulama, karna bukunya yang dianggap liberal).

8.      Ulil Absar Abdalla, Lakpesdam-NU, Jakarta.
9.      Luthfie Assyaukanie, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
10.  Dan Lain-lain.

Misi Islam Liberal
Langkah awal Islam Liberal adalah mula-mula mengacaukan istilah-istilah. Mendiang Prof. DR. Harun Nasution, direktur Pasca Sarjana IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Jakarta, berhasil mengelabui para mahasiswa perguruan tinggi Islam di Indonesia, dengan cara mengacaukan istilah. Yaitu memposisikan orang-orang yang nyeleneh sebagai pembaharu. Di antaranya Rifa’at At-Thahthawi (orang Mesir alumni Paris yang menghalalkan dansa laki perempuan secara Ikhtilath), oleh Harun Nasution diangkat-angkat sebagai pembaharu dan bahkan dibilang sebagai pembuka pintu ijtihad. Hingga posisi penyebar faham menyeleweng itu justru didudukkan sebagai pembaharu atau modernis (padahal penyeleweng agama). Pengacauan istilah itu dilanjutkan pula oleh tokoh utama JIL yakni Nurcholish Madjid. Dia menggunakan cara-cara Darmogandul dan Gatoloco, yaitu sosok penentang dan penolak syari’at Islam di Jawa yang memakai cara: Mengembalikan istilah kepada bahasa, lalu diselewengkan pengertiannya.
Islam Liberal menyebarkan faham yang menjurus kepada pemurtadan. Yaitu sekulerisme, inklusifisme, dan pluralisme agama. Sekulerisme adalah faham yang menganggap bahwa agama itu tidak ada urusan dengan dunia, negara dan sebagainya. Inklusifisme adalah faham yang menganggap agama kita dan agama orang lain itu posisinya sama, saling mengisi, mungkin agama kita salah, agama lain benar, jadi saling mengisi. Tidak boleh mengakui bahwa agama kita saja yang benar. (Ini saja sudah merupakan faham pemurtadan). Lebih-lebih lagi faham pluralisme, yaitu menganggap semua agama itu sejajar, paralel, prinsipnya sama, hanya beda teknis. Dan kita tidak boleh memandang agama orang lain dengan memakai agama yang kita peluk. (Ini sudah lebih jauh lagi pemurtadannya). Jadi faham yang disebarkan oleh komunitas Islam Liberal itu adalah agama syetan, yaitu menyamakan agama yang syirik dengan yang Tauhid.
Penghancuran Aqidah
Penyebaran pemikiran teologi inklusif dan pluralis ini sangat fatal akibatnya jika dibiarkan begitu saja karna pemikiran ini berimbas pada penhancuran akidah. Apalagi kalau yang mempropagandakan pemikiran tersebut adalah tokoh-tokoh agama, cendikiawan muslim, para kiai, dan aktivis organisasi Islam.
Parahnya mereka telah mengaburkan konsep “tauhid Islam” dengan menganggap semua inti agama itu sama (pluralisme). Padahal alqur’an sudah jelas menyatakan bahwa orang-orang kafir akan masuk neraka (Al-Bayyinah : 6), namun amatlah mengherankan kalau mereka (Islam Liberal) mengkampanyekan bahwa “inti semua agama” bahkan agama itu sendiri itu “sama”. Para pengusung faham “persamaan agama” ini biasanya menggunakan dalil Alqur’an surah Al-Baqoroh ayat 62 dan Al-Maa’idah ayat 69 untuk dijadikan pijakan
“Sessungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Shabi’in dan orang-orang Nashara, barangsiapa yang beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal sholeh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”
Penghancuran Syariat Islam
Banyak sekali syariat-syariat Islam yang mereka rubah atas dasar tujuan mereka, misalnya saja dalam menafsirkan ayat-ayat alqur’an banyak sekali yang tidak sesuai dengan tafsir-tafsir ulama Islam lainnya, seperti menghalalkan nikah beda agama, seorang muslimah dengan laki-laki non-muslim, padahal sudah dijelaskan dalam alqur’an bahwa nikah beda agama dilarang. Parahnya lagi adalah mereka menghalalkan nikah sesama jenis dengan dalih saling cocok. Peristiwa ini pernah terjadi dan yang menikahkan adalah salah satu dosen perguruan tingi Islam di Indonesia.
Mereka sering kali mengadakan diskusi-diskusi di berbagai universitas misalnya, mereka menggunakan dalil-dalil yang mereka tafsirkan berdasarkan akal semata. Dengan mudahnya mereka menafsirkan ayat-ayat alqur’an tanpa mengetahui hal apa saja yang dibutuhkan seseorang dalam menafsirkan suatu ayat, sehingga menghasilkan hukum yang tidak jelas dan mentah. Namun banyak diantara kaum muslimin yang sudah mengadopsi dan mempraktekan syariat yang mereka buat.
Peran Ulama dalam menghadapi Islam Liberal
Ketika maraknya nama Islam Liberal, banyak sekali ulama-ulama khususnya di Indonesia merasa diresahkan oleh kemunculan mereka, karna berbahaya sekali bagi umat Islam apalagi masyarakat ‘awam. Banyak sekali usaha-usaha yang dilakukan oleh para ulama Islam. Di mesir saja contohnya, pada tahun 1992 pernah ditampilkan dalam sebuah forum debat antara kelompok sekuler yang diwakili oleh Dr. Muhammad Khalafullah dengan kelompok Islam yang diwakili oleh Dr. Muhammad Al-Ghazali, Dr. Muhammad Imarah. Pada tahun 1985 pernah juga ditampilkan debat serupa antara Dr. Fuad Zakaria dengan Dr. Yusuf al-Qaradhawi.
Di Indonesia sendiri, banyak sekali usaha-usaha ulama Indonesia dalam menghadapi Islam Liberal, pada 1 Desember 2002 FUUI (Forum Ulama Umat Indonesia) misalnya, telah mengeluarkan pernyataan bahwa fatwa mati untuk Ulil Absar Abdalla yang telah menghina umat islam dan memutarbalikan kebenaran agama. Ada juga KH. A. Khalil Ridwan, Majelis Pimpinan Badan Kerja Sama Pondok Pesantren se-Indonesia (BKSPPI) menyatakan bahwa apa yang ditawarkan Jaringan Islam Liberal hanyalah sebongkah kesesatan. Perbedaan dengan mereka mengalami pedangkalan yang berakhir dengan kesesatan.
Selain pernyataan-pernyatan, ada juga yang berbentuk tulisan-tulisan, komentar-komentar, seminar-seminar, dan lain-lain.

2.2 Islam Dan Terorisme
Bagaimana dalam pandangan islam, cobalah kita lihat daribeberapa ayat kitab suci umat islam dan hadis hadis rasulullah.Dan tidaklah Kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi)rahmat bagi semesta alam. [QS. Al-Anbiyaa' : 107]Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada ummatmanusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagaipemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.[QS. Saba' : 28]Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Nabi Muhammad SAWmemiliki sifat lemah-lembut serta hati beliau terasa amat beratatas penderitaan yang menimpa pada manusia, maka beliauberusaha keras untuk membebaskan dan mengangkatpenderitaan yang dirasakan oleh manusia tersebut.Dalam kata lain perbanyaklah untuk melakukan perbuatan baik,dan berlindung kepada Allah, bergaul dengan para ulama ” Al ulamawaratsatul anbiya “.
Kejahatan dan perbuatan jahat, keduanya sama sekali bukan ajaranIslam. Dan orang yang paling baik Islamnya ialah yang paling baikakhlaqnya. [HR. Ahmad juz 7, hal. 410, no. 20874]Dari beberapa ayat Al Qur’an dan Hadis hadis rasul dapat kitalihat bagaimana islam memandang teroris dan terorisme. Islamagama yang indah, penuh kasih cinta dan sayang. Seperti yangdiajarkan rasulullah tuk menyayangi satu dengan yang lainnya.Maka salah jika mengklaim islam sebagai agama teroris, dan salahbesar juga jika menghancurkan umat beragama non muslim denganmengedepankan islam dan menancapkan kata kata ” Jihad fisabilillah ” di hati para orang islam, seperti kasus bom Bali Amrozi,Imam Samudera dan temannya.“ Dan orang orang yang berjihad dijalan kami. Sungguh kami benarbenar akan menunjukkan mereka pada kami “ (QS: Al Ankabut : 69 )“ Siapa siapa yang berjihad maka sesungguhnya ia erjihad untukdirinya sendiri. “ (QS: Al Ankabut : 6 ).Makna jihad sangatlah luas jika dipandang sebelah mata. Jihadberarti berjuang dan bersungguh sungguh dengan tujuan mendapatmaklamat disisi Allah diatas muka bumi ini, dengan pengorbanan jiwa dan raga bahakan matipun menjadi taruhan tuk berjihad. Kalaukita lihat dan dibaca sejenak mudah sekali kita menafsiri apa itu jihad, secara tanggap jihad seperti para teroris yang mengklaimdirinya sendiri sebagai sosok yang sangat berharga bagi umat islamlainnya, yang mana niat mereka ialah berjihad fi sabilillah, sepertiyang kasus Amrozi dan kawan kawan.Kalau kita maknai jihad hanya seperti itu sangatlah salah, danfatal akibatnya bagi pertumbuhan dan pemikiran para anak bangsayang notabenenya mayoritas beragama slam. Kita harus mempunyailmu fiqih dan kaidah kaidah ushul fiqih yang mumpuni tukmemaknai arti Jihad tersebut. Jihad bisa diterapkan di kehidupan masyarakat antara lain :Berbuat baik antar sesama, saling menasihati, berperasangka baik,mengikuti aturan Allah dan Rasulullah serta menjalankan perintahnya

2.3 Islam dan Pluralisme Beragama
Pada umumnya Islam mendefinisikan pluralitas sebagai bentuk hidup bermasyarakat yang didalamnya terdapat berbagai keanekaragaman seperti agama, adat, dan sebagainya. Dalam arti lain Islam memandang pluralitas sebagai toleransi antar umat beragama. Jika kita merujuk pada pendapat pada orientalis barat yang mengartikan pluralitas dengan memandang semua agama sama, maka definisi ini tidak sesuai dengan definisi Islam dalam memandang sebuah pluralitas. Karena Islam adalah agama yang paling sempurna dan universal. Islam berbeda dengan agama-agama lain. Islam adalah penyempurna agama-agama samawi pendahulunya (yahudi dan kristen).
Jika kita membuka lembaran-lembaran para ulama klasik maupun kontemporer tidak akan kita temukan istilah pluralisme (ta’addudiyah). Namun masalah ini sama sekali tidak berarti pluralitas agama tidak mendapatkan perhatian yang cukup dalam dunia Islam. Tidak adanya terminologi pluralitas dalam Al-Quran, Sunnah maupun dalam tulisan-tulisan ulama Islam tidak menunjukkan tidak adanya konsep tentang pluralitas dalam Islam.
Secara tidak lalngsung para ulama Islam memandang pluralitas sebagai bentuk interaksi sosial yang berhubungan dengan bagaimana mengatur dan mengurus individu-individu ataupun kelompok-kelompok yang hidup dalam suatu tatanan masyarakat yang satu. Baik yang menyangkut hak ataupun kewajiban untuk menjamin ketenteraman dan perdamaian umum. Jadi permasalah pluralisme lebih mengarah pada masalah-masalah sosial daripada masalah ketuhanan atau teologi, dimana wahyu telah menuntaskan secara final dan menyerahkan semuanya pada kebebasan dan kemantapan individu untuk memilih agama atau keyakinan sesuai yang mereka yakini, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Kafirun: 109/6( لكم دينكم ولي دين ) yang artinya : Untukmu agamamu dan untukku agamaku”.Dan juga Allah menerangkan pada QS. Al Baqarah: 2/256
لااكراه في الدين قد تبين الرشد من الغي فمن يكفرر با لطا غو ت ويؤ من با لله فقد استمسك با لعروة الوثقي لاانفصام لها والله سميع عليم 
Artinya : Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut[162] dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Dengan demikian terdapat perbedaan yang mendasar antara Islam dan teori-teori pluralisme agama dalam hal pendekatan metodologis tentang isu dan fenomena pluralisme agama. Islam memandang pluralisme sebagai sebuah hakikat yang tidak mungkin dinafikan lagi, sementara teori-teori pluralisme agama hanya melihat pluralisme sebagai keberagaman yang tidak hakiki. Perbedaan metodologis inilah yang menimbulkan perbedaan dalam menentukan solusinya. Islam menawarkan solusi praktis sosiologis oleh karena lebih bersiafa fiqhiyyah (sosial), sementara teori-teori pluralisme memberikan solusi teologis.

2.4 Islam Dan Kesetaraan Gender
Orang – orang Barat yang fanatik, menyerang Islam dengan terang- terangan dan menjadikan isu poligami sebagai bentuk penghinaan dan diskriminasi terhadap perempuan. Padahal dalam masalah poligami , Islam tidaklah sendirian, agama Yahudi sendiri justru membolehkan poligami, bahkan tanpa batas. Para Nabi yang disebutkan di dalam Taurat semuanya, tanpa terkecuali mempunyai isti lebih dari satu, bahkan disebutkan di dalam Taurat bahwa nabi Sulaiman mempunyai 700 istri merdeka dan 300 budak. Bahkan , bangsa- bangsa terdahulu telah mempraktekan konsepsi poligami, seperti bangsa Atsin, Cina, India, Babilion dan Atsur dan Mesir. Pada bangsa- bangsa tersebut poligami tidaklah di batasi sampai empat seperti yang ada dalam ajaran Islam. Dalam perundang- undangan Bangsa Cina dahulu, seorang laki- laki di perbolehkan berpoligami sampai 130 perempuan. Bahkan beberapa penguasa Cina memiliki 30.000 istri. \
Bahkan dalam agama Kristen sendiri, walaupun di dalam Injil tidak di sebutkan secara tegas konsepsi poligami ini , namun dalam surat Paulus I di dapati pernyataan bahwa bagi seorang petingi agama diharuskan mempunyai istri satu saja. Dan ini mengisyaratkan bahwa selain petinggi agama dibolehkan untuk beristri lebih dari satu. Ini terbukti dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh Wester Mark pakar yang dipercaya dalam bidang sejarah pernikahan yang isinya : “ Bahwa poligami yang diakui Gereja masih ada hingga abad 17 M. Dan inipun tejadi pada keadaan- keadaan yang tidak bisa di dideteksi oleh Gereja dan Negara “
Di dalam Islam , konsepsi poligami telah diatur di dalam Q.s. Al –Nisa’ , ayat 3. Allah berfirman :
“ Jika kamu takut untuk tidak bisa berbuat adil terhadap perempuan – perempuan yatim ( jika mengawininya ) , maka nikahilah perempaun- perempuan lainnya yang kamu sukai : dua , tiga, empat . Jika kamu takut tidak bisa berbuat adil maka kawinilah satu saja “
Sebab turunnya ayat di atas :
Di sana ada beberapa sebab diturunkannya ayat di atas, diantaranya, yang paling kuat adalah apa yang diriwayatkan oleh Urwah bin Zubair ketika beliau bertanya kepada Aisyah ra, tentang ayat tersebut : ( “ wain khiftum ala tuqsitu filyatama “ ) , Aisyah berkata : “ Wahai anak saudaraku , ini diturunkan kepada anak perempuan yatim, yang hidup di rumah walinya, dia ikut makan harta walinya tersebut, dan kebetulan walinya juga mengincar harta anak yatim tadi dan terpesona dengan kecantikannya, wali tersebut hendak menikahinya tapi tidak mau berbuat adil di dalam memberikan maharnya , dia ingin memberikan mahar sama dengan mahar perempuan- perempuan lainnya, maka Allah melarang untuk menikahinya kecuali kalau bisa berbuat adil di dalam memberikan mahar yang sederajat dengannya, dan memerintahkan untuk menikahi perempuan selainnya. Berkata Urwah , berkata Aisyah: “ Sesungguhnya para sahabat bertanya kepada Rosulullah saw setelah ayat ini, sehingga Allah menurunkan ayat ( wa yastaftunaka fi nisai ) Berkata Aisyah : “ Adapun firman Allah ( watarghobuna an tankihuhunna ) artinya jika salah satu dari kamu tidak mau menikahi anak yatim asuhannya, karena sedikit hartanya dan tidak cantik. Berkata Aisyah : “ Maka mereka dilarang menikahi anak yatim jika hanya mengejar kecantikan dan hartanya , kecuali kalau berbuat adil . Hal itu dikarenakan mereka tidak mau menikahinya jika mereka jelek dan sedikti hartanya “
Dalam menanggapi ayat di atas ada beberapa perbedaan pandangan :
Syekh Muhammad Thohir Asyur di dalam tafsirnya menguatkan apa yang dikatakan Aisyah ra.. Sebelumnya, Ibnu Katsir, walaupun tidak terus terang, beliau cenderung juga untuk membenarkan riwayat Aisyah ini, dengan bukti bahwa hanya riwayat ini saja yang diungkapkan dalam tafsirnya dan menganggapnya riwayat yang paling shohih, padahal di sana ada riwayat- riwayat lain.
Sayangnya sebagian orang menafsirkan ayat tersebut dengan penafsiran yang salah. Dengan mengikuti metode tafsir “ maudlui“ yang bersifat holistis , yaitu yang bersifat menyeluruh, menurut anggapan mereka, maka mereka membuat komparasi tiga ayat yang terkaitan dengan poligami. Yang pertama, adalah Qs. Al-Nisa’ : 3, ayat ini semacam memberi kesempatan untuk poligami. Kedua, adalah ayat yang memberi peringatan atau warning agar belaku adil: fain khiftum allâ ta‘dilû fawâhidah (kalau engkau sangsi tidak dapat berlaku adil, satu saja). Ketiga, Q.S. Al Nisa’ : 129 : “ walan tashtatî’û ‘an ta’dilî bainan nisâ’ walau harashtum. ( kamu sekalian (wahai kaum laki-laki!) tidak akan bisa berbuat adil antara isteri-isterimu, sekalipun engkau berusaha keras).
kesimpulannya adalah satu ayat membolehkan poligami, sementara dua ayat justru (seakan-akan) menafikan terwujudnya syarat pokok berpoligami, yaitu masalah keadilan. Kalau menggunakan proporsi seperti tadi, akan dihasilkan perbandingan dua ayat banding satu. Maka yang menang adalah yang dua ayat, sehingga poligami di larang dalam Islam. Bahkan untuk memperkuat argumen tersebut, mereka menambahkan bahwa ayat yang membolehkan poligami konteksnya adalah perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang.
Gaya penafsiran seperti itu, walaupun ada perbedaan sedikit telah dilakukan oleh Qosim Amin dalam bukunya “ Tahrir al Mar’ah “kemudian diikuti oleh DR. Nasaruddin Umar, MA, Pembantu Rektor IV IAIN Syarif Hidayatulah Jakarta, Faqihuddin Abdul Kodir, MA, dosen STAIN Cirebon dan alumnus Fakultas Syariah Universitas Damaskus, Suriah, Dra. Maria Ulfah Anshori, Ketua Umum Fatayat NU, Khofifah Indar Parawangsa, mantan Ketua PP. Muslimat NU, M. Hilaly Basya peneliti YISC Al Azhar Jakarta , yang juga dosen Fisip di Universitas Muhammadiyah dalam tulisannya : “ Dari Konsumerisme hingga Ekstasi Seksual,” Bahkan juga oleh Syafi’I Ma’arif , Ketua Umum Muhammadiyah, dan masih banyak lagi yang tidak mungkin bisa di sebut di sini semuanya.
Gaya penafsiran seperti itu, menurut Syekh Muhammad Muhammad Madani , didalam ilmumantiq disebut “ Safsathoh “ , yaitu seperti orang yang menunjuk kepada gambar kuda, kemudian dia mengatakan : “ Ini kuda dan setiap kuda pasti bisa meringkik, maka ini bisa meringkik “
Lebih ironisnya lagi, cara menafsirkan ayat dengan sistem voting tersebut telah dijadikan pijakan di dalam pelarangan poligami di Tunis, yaitu tersebut di dalam pasal yang ke delapan belas , dan yang melanggarnya akan kena hukuman satu tahun penjara dan membayar denda sebesar 240 ribu frank  . Ayat tersebut, menurut Pemerintahan Tunis, merupakan bukti bahwa keadilan di dalam poligami tidak akan pernah terwujud selama-lamanya.
Para ulama menyebutkan bahwa kata “ Adil “ pada ayat yang pertama ( Q.s al- Nisa’ : 3 ) artinya adalah keadilan di dalam nafkah dan tempat tinggal serta giliran tidur , dan juga hal lain- lainnya yang masih di dalam kemampuan manusia. Sedang “ adil “ pada Q.s. al- Nisa’ : 129 : “ walan tastathi’u an ta’dilu baina an nisai walau harastum “ ( Kamu tidak akan bisa berbuat adil, walaupun engkau berusaha keras ) adalah adil di dalam memberikan cinta alami yang ada dalam hati, dan ini memang di luar kemampuan manusia  .
Maka dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa tabiat manusia itu sendiri sesuai dengan sifat yang diciptakannya tidak akan bisa mengendalikan kecintaannya kepada sebagian orang saja. Penafsiran semacam ini di dukung dengan dengan hadits Rosulullah saw , ketika beliau berdo’a kepada Allah mengadu tentang perbuatannya selama ini di dalam berpoligami : “ Ya Allah inilah pembagian saya ( kepada istri- istriku ) yang bisa saya perbuat, maka janganlah Engkau cela aku pada hal- hal yang Engkau mampu sedang saya tidak mampu ( yaitu kecintaan di dalam hati )
Ini juga di kuatkan dengan bunyi ayat berikutnya : “ fala tamilu kulla mail fatadzaruha kal mu’alaqoh( Maka , hendaknya janganlah engkau terlalu cintai , sehingga yang lainnya menjadi terkatung- katung )
Ayat ini menerangkan dengan sangat jelas bahwa dalam masalah hati, Nabi Muhammad pun tidak bisa berlaku adil, karena bagaimanapun derajatnya seseorang , dia pasti ada kecenderungan untuk lebih mencintai kepada orang yang cocok dan sesuai dengannya . Masing- masing dari diri kita , tidak akan mungkin bisa mengingkari hal seperti itu, sebagaimana telah kita rasakan bersama dengan oran – orang yang kita cintai. Dan inilah fitrah manusia, dan Allah tidak akan meletakkan konsepsi yang bertentangan dengan fitroh yang telah Ia letakkan pada diri manusia.
Karena tidak ada kemampuan untuk memaksa hatinya dan membagi rata rasa cinta tersebut , maka Allah mewanti- wanti rosul-Nya agar tidak terlalu cenderung sekali kepada yang di cintainya dengan sikap yang membabi buta dan sangat menyolok , sehingga mengakibat istri- istri lainnya terkatung- katung.
Kalau seandainya benar- benar Allah telah mengharamkan poligami dengan menggabungkan dua ayat di atas, kenapa Rosululah saw membiarkan para sahabat berpoligami dan tidak di larang sama sekali, padahal kedua ayat tersebut telah turun, kemudian diikuti oleh mayoritas kaum muslimin sepanjang sejarah, hingga datang metode penafsiran matematika yang unik tersebut , Ini sama saja menuduh kaum muslimin selama ini telah melakukan bentuk kemungkaran yang di haramkan oleh Allah, yaitu poligami. Masalah ini, nampaknya tidak pernah tersentuh oleh mereka yang mengharamkan poligami.
Keterangan di atas , paling tidak , bisa menjawab apa yang dilontarkan oleh DR. Nasaruddin Umar dalam Desertasinya yang mengatakan bahwa ayat Q.s. Al- Nisa/ 4: 129 ini dapat di artikan menolak poligami. Dan dari keterangan tersebut , beliau menyimpulkan bahwa metode penafsiran maudlui lebih ketat dan lebih tegas terhadap poligami dari pada metode tahlili . Beliau juga mengatakan bahwa metode maudlui secara umum akan menghasilkan penafsiran yang lebih moderat terhadap ayat- ayat gender daripada metode tahlili, karena- menurutnya- metode ini ( mudlui) tidak banyak mengintrodusir budaya Timur Tengah yang cenderung memposisikan laki- laki lebih dominan daripada perempuan.
Penulis, sangat kurang sependapat dengan apa yang beliau ungkapkan, karena terdapat kejanggalan dan kontradiksi di dalamnya. Keterangannya ada dalam beberapa point di bawah ini :
Pertama : Metode tahlili yang dipakai jumhur ulama sebenarnya , tidak sekedar menjadikan teks sebagai fokus perhatian saja, tanpa melihat apa dan bagaimana kasus itu terjadi. Kita temukan dalam buku- buku tafsir yang menggunkan metode tahlili, para mufasiirun menyebutkan juga asbanu nuzul, yang berarti memperhatikan apa dan bagaimana kasus tersebut hingga terjadi. Hampir rata- rata buku- buku tafsir yang besar ( muthowalat) selalu menyebutkan asbabun nuzul, seperti tafsir at Thobari, tafsir al Qurtubi, tafsir IbnuKatsir dan lain-lainnya. Yang tidak menyebutkan asban nuzul hanyalah tafsir –tafsir yang ringkas, seperti , atau tafsir- tafsir yang cenderung membahas bahasa. Bahkan Ibnu Katsir , walaupun menggunakan metode tafsir tahlili, tapi dalam kenyataannya beliau juga menggunakan metode maudlui, walau tidak secara tuntas. Para ulama sering menyebut tafsirnya sebagai tafsir al Qur’an bil Qur’an, artinya beliau tidak terpaku pada teks yang ada, tetapi juga meihat teks-teks lain yang terkait dengannya. Metode ini ( pendekatan tekstual dan kontekstual ) juga di pakai oleh Imam Qurtubi , walaupun lebih cenderung kepada masalah-masalah hukum. Mufassir kontemporer yang menggunakan metode tahlili, tapi tidak terfokus pada teks itu saja, adalah tafsir Adwaul Bayan , karya Muhammad Amien Syenkiti. Dan banyak contoh- contoh lainnya. Hal ini diakui sendiri DR. Quraisy Syihab , beliau menyakinkan kita, sebagaimana yang di ungkap oleh DR. Siti Musdah Mulia , bahwa pada prinsipnya hampir seluruh mufassir menggunakan pendekatan tekstual dan konstektual dalam menarik makna dan pesan- pesan al Qur’an, atau upaya mereka mengistimbathkan dari teks- teks keagamaan, yang berbeda hanyalah intensitas penggunaan kedua pendekataan tersebut.
Kedua : Gaya penafsiran yang dicontohkan oleh DR.
Nasaruddin Umar dalam membahas ayat poligami, yang menurutnya adalah metode Maudlui, atau metode penafsiran secara holistis, yakni penafsiran al Qur’an secara menyeluruh , pada hakekatnya belum memenuhi syarat dan banyak cacatnya. Karena beliau menggabungkan dua ayat yang berbeda artinya, sehingga menghasilkan kesimpulan yang salah. Itu , akibat dari pembahasanya yang tidak menyeluruh , karena tidak menyertakan hadits yang bisa menafsirkan ayat tersebt, sebagaimana yang di sebut di atas. Lagi pula beliau juga tidak menggabungkan dengan ayat lain seperti dalam Qs. Al Nisa’ : 82 ( Apakah mereka tidak mau tadabbur ( merenungi ) al-Qur’an , seandainya al-Qur’an tersebut bukan dari sisi Allah, tentunya mereka akan mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya ) . Beliau tidak memperhatikan , bahwa menyimpulkan dua ayat poligami tersebut dengan metode yang beliau pakai, sebetulnya secara tidak langung menganggap ayat –ayat di dalam al-Qur’an saling bertentangan. Karena dalam satu ayat, Allah membolehkan poligami dengan syarat adil, sedangkan dalam ayat lain Allah menafikan adanya keadilan. Selain itu juga, beliau tidak memperhatikan dampak – dampak sosial, moral dan psikologi manusia. Sehingga, kesimpulan yang di dapat kurang tepat dan cenderung kontradiksi. Intinya, metode penafsiran yang beliau anggapnya bersifat holistis ataupun mencakup secara keseluruhan , justru kenyataannya malah parsial, sedang penafsiran para ulama dahulu yang di tuduh parsial dan hanya terfokus pada ayat tertentu, ternyata kenyataannya justru malah holistis dan menyeluruh.
Adapun firman Allah yang berbunyi : “ wain khiftum ala tuqsithu fil yatama “ , syarat tersebut tidak mempunyai mafhum, sebagaiamana yang dikatakan Imam Qutubi. Artinya , rasa kawatir untuk tidak berbuat adil terhadap anak- anak yatim , bukanlah syarat seseorang untuk melakukan poligami . Dan ini, menurut Imam Qurtubi sudah menjadi kesepakatan kaum muslimin.
Yang di katakan oleh Imam Qurtubi tersebut , sesuai dengan ayat lain yang terdapat dalam ( Q.s al- Nisa’ , ayat : 101 ) : ( Apabila kamu bepergan di atas bumi ini, maka tidaklah mengapa, kamu meng-qhosor sholatmu , jika kamu kawatir akan diserang orang- orang kafir )
Syarat dalam ayat di atas, tidaklah mempunyai mafhum, artinya kekawatiran untuk di serang orang kafir, bukanlah syarat untuk dibolehkan melakukan sholat qoshor.
Ajaran Islam yang membolehkan seorang laki-laki berpoligami sampai empat istri dengan syarat adil, bukanlah bentuk diskriminasi atas perempuan, karena ajaran tersebut merupakan salah satu bentuk konsepsi yang diletakkan oleh Islam untuk menyeimbangkan kehidupan sosial. Islam di dalam meletakan ajarannya, melihatnya dengan pandangan yang jauh dan dengan pertimbangan yang bersifat universal serta mempertimbangkan segala seginya, tidak melihatnya dengan pandangan picik dan parsial. Tidak pula dengan melihat kepentingan satu pihak dengan mengorbanan kepentingan pihak yang lain. Artinya menghapus kebolehan seorang laki- laki berpoligami sampai empat istri, merupakan bentuk diskriminasi terhadap laki- laki dan mengekang kemampuan kreatifitas suami, sebaliknya membolehkan berpoligami lebih dari empat merupakan bentuk diskriminasi dan de – humanisasi perempuan serta membunuh perasaannya yang halus.
Syarat berlaku adil untuk dibolehkannya berpoligami , seperti yang disebutkan dalam Surat anNisa’ ayat : 3, nampaknya kurang cukup, menurut sebagian orang , sehingga perlu di tambah syarat lain yaitu “ harus dalam keadaan darurat “. Kalau diteliti secara seksama syarat yang di usulkan untuk ditambahkan dalam berpoligami selain berbuat adil, kurang banyak manfaatnya, karena syarat adil itu sudah mencakup ke arah tersebut. Dan sayang nya lagi yang mengusulkan syarat baru tersebut, belum menjelaskan batasan dlarurat yang sebenarnya.
Sebagian orang yang menolak adanya poligami, menyandarkan pendapat mereka pada larangan Rosulullah saw kepada Ali untuk menikah lagi, dan memadu putrinya, Fatimah. Mereka mengatakan bahwa larangan ini menunjukkan bahwa Rosulullah saw sendiri melarang poligami.
Jadi, metode penafsiran matematika tadi belumlah dianggap kuat untuk menumbangkan dalil- dalil dibolehkannya poligami, sehingga hadits ini , dimunculkan ke permukaan.
Para ulama , alhamdulillah telah menerangkan kedudukan dan maksud hadits di atas. Syekh Sayid Sabiq, memberikan judul pada hadist Fatimah tadi dengan bunyi : “ Hak perempuan untuk mensyaratkan agar tidak dimadu “
Artinya bahwa larangan Rosulullah kepada Ali untuk memadu Fatimah, bukan karena Rosulullah melarang poligami. Akan tetapi Rosulullah ingin agar Ali ra menepati syarat yang telah diajukan oleh Rosulullah saw, dalam hal ini sebagai wali Fatimah, ketika menikahkannya dengan Fatimah. Apabila seorang wali perempuan mensyaratkan kepada mempelai laki- laki agar anaknya tidak di madu. Apabila mempelai laki- laki setuju, maka syarat itu syah dan wajib dilaksanakan , serta tidak boleh di langgar. Seandainya dilanggar, maka istri berhak mengajukan gugatan untuk membatalkan pernikahan .Begitulah , kira- kira arti dari judul yang di tulis Syekh Sayid Sabiq. Mungkin muncul sebuah pertanyaan, apakah syarat tersebut disebutkan dalam akad antara Ali ra. Dengan Fatimah ra ? Jawabannya, bahwa para Fuqoha telah menetapkan sebuah kaidah. “ al Masyrut ‘Urfan kal masyrut lafdhon “ ( sesuatu yang di syaratkan dengan kebiasaan bagaikan syarat yang di ucapkan ) Artinya walaupun Rosulullah saw tidak mengucapkan syarat tersebut di dalam akad nikah, akan tetapi syarat tersebut mestinya sudah dipahami , menurut kebiasaan, bahwa putri Nabi Muhammad saw, tidak boleh di madu. Dalam kasus ini, menurut teks hadist ini bahwa Fatimah hendak di madu dengan anknya Abu Jahal , pentolan orang musyrik yanh menjadi musuh utama Rosulullah saw.
Di sana ada jawaban versi lain, yaitu larangan Ali untuk memadu Fatimah berkait dengan konspirasi politik yang ada di baliknya. Diriwayatkan, Rasulullah saw berkhutbah di hadapan khalayak ramai, “Sejumlah keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bi Abi Thalib. Ketahuilah aku tidak mengizinkan (tiga kali).” Seperti disebutkan dalam Sirah Ibnu Hisyam, larangan tersebut karena Abu Jahal bermaksud ‘meminang’ Ali untuk menikahi puterinya. Abu Jahal punya maksud tertentu di balik perkawinan ‘politis’ ini. Hal inilah yang membuat Rasulullah saw tegas melarangnya. “Tak mungkin berkumpul puteri Nabiyullah dan musuh Allah dalam satu rumah,” tegas Rasulullah saw. Seandainya larangan itu ditujukan kepada poligami, tentulah beliau melarang para sahabatnya berpoligami. Kalau itu terjadi, tak mungkin ada sahabat yang mau berpoligami. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Banyak para sahabat yang berpoligami.
FEMINISME
Kepeloporan pembaruan Kyai Dahlan yang menjadi tonggak berdirinya Muhammadiyah juga ditunjukkan dengan merintis gerakan perempuan ‘Aisyiyah tahun 1917, yang ide dasarnya dari pandangan Kyai agar perempuan muslim tidak hanya berada di dalam rumah, tetapi harus giat di masyarakat dan secara khusus menanamkan ajaran Islam serta memajukan kehidupan kaum perempuan. Langkah pembaruan ini yang membedakan Kyai Dahlan dari pembaru Islam lain, yang tidak dilakukan oleh Afghani, Abduh, Ahmad Khan, dan lain-lain (mukti Ali, 2000: 349-353).
Perintisan ini menunjukkan sikap dan visi Islam yang luas dari Kyai Dahlan mengenai posisi dan peran perempuan, yang lahir dari pemahamannya yang cerdas dan bersemangat tajdid, padahal Kyai dari Kauman ini tidak bersentuhan dengan ide atau gerakan ”feminisme” seperti berkembang sekarang ini. Artinya, betapa majunya pemikiran Kyai Dahlan yang kemudian melahirkan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam murni yang berkemajuan.
Aisyiyah sebagai salah satu organisasi ortonom bagi Wanita Muhammadiyah yang didirikan di Yogyakarta pada 27 Rajab 1335 H bertepatan dengan 19 Mei 1917 oleh Nyai Ahmad Dahlan.

Tentang 'Aisyiyah

Aisyiyah adalah sebuah gerakan perempuan Muhammadiyah yang lahir hampir bersamaan dengan lahirnya organisasi Islam terbesar di Indonesia ini. Dalam kiprahnya hampir satu abad di Indonesia, saat ini ‘Aisyiyah telah memiliki 33 Pimpinan Wilayah “Aisyiyah (setingkat Propinsi), 370 Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah (setingkat kabupaten), 2332 Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah (setingkat Kecamatan) dan 6924 Pimpinan Ranting ‘Aisyiyah (setingkat Kelurahan).
Selain itu, ‘Aisyiyah juga memiliki amal usaha yang bergerak diberbagai bidang yaitu : pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, ekonomi dan pemberdayaan masyarakat. Amal Usaha dibidang pendidikan saat ini berjumlah 4560 yang terdiri dari Kelompok Bermain, Pendidikan Anak Usia Dini, Taman Kanak-Kanak, Tempat Penitipan Anak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan lain-lain.
‘Aisyiyah menyadari, bahwa harkat martabat perempuan Indonesia tidak akan meningkat tanpa peningkatan kemampuan ekonomi di lingkungan perempuan. Oleh sebab itu, berbagai amal usaha yang bergerak di bidang pemberdayaan ekonomi ini di antaranya koperasi, Baitul Maal wa Tamwil, Toko/kios, BU EKA, Simpan Pinjam, home industri, kursus ketrampilan dan arisan. Jumlah amal usaha tersebut hingga 503 buah.

Peran dan Perkembangan

Setelah berdiri, 'Aisyiyah tumbuh dengan cepat. Sebagai organisasi perempuan Muhammadiyah, 'Aisyiyah kemudian tumbuh menjadi organisasi otonom yang berkembang ke seluruh penjuru tanah air.
Pada tahun 1919, dua tahun setelah berdiri, 'Aisyiyah merintis pendidikan dini untuk anak-anak dengan nama FROBEL, yang merupakan Taman Kanan-Kanak pertama kali yang didirikan oleh bangsa Indonesia. Selanjutnya Taman kanak-kanak ini diseragamkan namanya menjadi TK 'Aisyiyah Bustanul Athfal yang saat ini telah mencapai 5.865 TK di seluruh Indonesia.
Gerakan pemberantasan kebodohan yang menjadi salah satu pilar perjuangan 'Aisyiyah terus dicanangkan dengan mengadakan pemberantasan buta huruf pertama kali, baik buta huruf arab maupun latin pada tahun 1923. Dalam kegiatan ini para peserta yang terdiri dari para gadis dan ibu-ibu rumah tangga belajar bersama dengan tujuan meningkatkan pengetahuan dan pemajuan partisipasi perempuan dalam dunia publik.
Selain itu, pada tahun 1926, 'Aisyiyah mulai menerbitkan majalah organisasi yang diberi nama Suara 'Aisyiyah, yang awal berdirinya menggunakan Bahasa Jawa. Melalui majalah bulanan inilah 'Aisyiyah antara lain mengkomunikasikan semua program dan kegiatannya termasuk konsolidasi internal organisasi.
Dalam hal pergerakan kebangsaan, 'Aisyiyah juga termasuk organisasi yang turut memprakarsai dan membidani terbentuknya organisasi wanita pada tahun 1928. Dalam hal ini, 'Aisyiyah bersama dengan organisasi wanita lain bangkit berjuang untuk membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan dan kebodohan. Badan federasi ini diberi nama Kongres Perempuan Indonesia yang sekarang menjadi KOWANI (Kongres Wanita Indonesia). Lewat federasi ini berbagai usaha dan bentuk perjuangan bangsa dapat dilakukan secara terpadu.

Identitas

'Aisyiyah, organisasi perempuan persyarikatan Muhammadiyah, merupakan gerakan Islam dan dakwah amar makruf nahi mungkar, yang berazaskan Islam serta bersumber pada Al Quran dan As-sunnah.

Jaringan Kerjasama

Sejak berdiri, 'Aisyiyah telah menjalin kerjasama dengan berbagai pihak baik dalam maupun luar negri. Pada masa pergerakan nasional, kerjasama lebih ditujukan untuk menjalin semangat persatuan guna perjuangan untuk melepaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan, Pada tahun 1928, 'Aisyiyah menjadi salah satu pelopor berdirinya badan federasi organisasi wanita Indonesia yang sekarang dikenal dengan nama Kongres wanita Indonesia (KOWANI)
Beberapa lembaga baik semi pemerintah maupun non pemerintah yang pernah menjadi mitra kerja ‘Aisyiyah dalam rangka kepentingan social bersama antara lain : Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), peningktan Peranan Wanita untuk keluarga Sehat dan Sejahtera (P2WKSS), Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial ( DNIKS), Yayasan Sayap Ibu, Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Program

Pemberdayaan

Sebagai organisasi perempuan yang bergerak dalam bidang keagamaan dan kemasyarakatan, Aisyiyah diharapkan mampu menunjukkan komitmen dan kiprahnya untuk memajukan kehidupan masyarakat khususnya dalam pengentasan kemiskinan dan ketenagakerjaan.
Dengan visi “tertatanya kemampuan organisasi dan jaringan aktivitas pemberdayaan ekonomi keluarga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat”, ‘Aisyiyah melalui Majelis Ekonomi bergerak di bidang pemberdayaan ekonomi rakyat kecil dan menengah serta pengembangan-pengembangan ekonomi kerakyatan.
Beberapa program pemberdayaan di antaranya : Mengembangkan Bina Usaha Ekonomi Keluarga Aisyiyah (BUEKA) dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Saat ini Aisyiyah memiliki dan membina Badan Usaha Ekonomi sebanyak 1426 buah di Wilayah,Daerah dan Cabang yang berupa badan usaha koperasi, pertanian, industri rumah tangga, pedagang kecil/toko dan

Kesehatan

Sebagai organisasi sosial, masalah kesehatan dan lingkungan hidup telah menempati posisi yang sangat serius dalam gerakan 'Aisyiyah. Dengan misi sebagai penggerak terwujudnya masyarakat dan lingkungan hidup yang sehat, ‘Aisyiyah kemudian mengembangkan pusat kegiatan pelayanan dan peningkatan mutu kesehatan masyarakat serta pelestarian lingkungan hidup melalui pendidikan. Saat ini ‘Aisyiyah telah mengelola dan mengembangkan setidaknya 10 RSKIA (Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak), 29 Klinik Bersalin, 232 BKIA/yandu, dan 35 Balai Pengobatan yang tersebar di seluruh Indonesia
Beberapa program yang dikembangkan antara lain : Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan yang terjangkau di seluruh Rumah Sakit, Rumah Bersalin, Balai Pengobatan, Balai Kesehatan Ibu dan Anak yang dikelola oleh Aisyiyah serta menjadikan unit-unit kegiatan tersebut sebagai agent of development yang tidak hanya sebagi tempat mengobati orang sakit, tetapi mampu berperan secara optimal dalam mengobati lingkungan masyrakat.
‘Aisyiyah melalui Majelis Kesehatan dan Lingkungan Hidup juga melakukan kampanye peningkatan keadaran masyarakat dan penanggulangan penyakit berbahaya dan menular, penanggulangan HIV/AIDS dan NAPZA , bahaya merokok dan minuman keras, dengan menggunakan berbagi pendekatan dan bekerjasam dengan berbagi pihak, meningkatkan pendidikan dan perlindungan kesehatan reproduksi perempuan, Menyelenggarakan pilot project system pelayanan terpadu antara lembaga kesehatan, dakwah social dan terapi psikologi Islami.

Pendidikan

Sejalan dengan pengembangan pendidikan yang menjadi salah satu pilar utama gerakan Aisyiyah, melalui Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah serta Majelis Pendidikan Tinggi, ‘Aisyiyah mengembangkan visi pendidikan yang berakhlak mulia untuk umat dan bangsa.
Dengan tujuan memajukan pendidikan (formal, non formal dan informal) serta mencerdaskan kehidupan bangsa hingga terwujud manusia muslim yang bertakwa, berakhlak mulia, cakap, percaya pada diri sendiri,cinta tanah air dan berguna bagi masyarakat serta diridhai Allah SWT, berbagai program dikembangkan untuk menangani masalah pendidikan dari usia pra TK sampai Sekolah Menengah Umum dan Keguruan.
Saat ini ‘Aisyiyah telah dan tengah melakukan pengeloaan dan pembinaan sebanyak : 86 Kelompok Bermain/ Pendidikan Anak Usia Dini, 5865 Taman-Kanak-Kanak, 380 Madrasah Diniyah, 668 TPA/TPQ, 2.920 IGABA, 399 IGA, 10 Sekolah Luar Biasa, 14 Sekolah Dasar, 5 SLTP, 10 Madrasah Tsanawiyah, 8 SMU, 2 SMKK, 2 Madrasah Aliyah, 5 Pesantren Putri, serta 28 pendidikan Luar Sekolah. Saat ini Aisyiyah juga dipercaya oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan ratusan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) di seluruh Indonesia. Sedangkan untuk pendidikan tinggi Aisyiyah memiliki 3 Perguruan Tinggi, 2 STIKES, 3 AKBID serta 2 AKPER di seluruh Indonesia.
Selain itu, ‘Aisyiyah juga memperhatikan masalah kaderisasi dan pengembangan sumber daya kader di lingkungan Angkatan Muda Muhammadiyah Putri secara integratif dan professional yang mengarah pada penguatan dan pengembangan dakwah amar makruf nahi mungkar menuju masyarakat madani.
Top of Form


5.5 ISU ISU HAM
HAM (Hak Asasi Manusia) merupakan suatu konsep etika politik modem dengan gagasan pokok penghargaan dan penghormatan terhadap manusia dan kemanusiaan. Gagasan ini membawa kepada sebuah tuntutan moral tentang bagaimana seharusnya manusia memperlakukan sesamanya manusia. Tuntutan moral tersebut sejatinya merupakan ajaran inti dari semua agama. Sebab, semua agama mengajarkan pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap manusia, tanpa ada pembedaan dan diskriminasi. Tuntutan moral itu diperlukan, terutama dalam rangka melindungi seseorang atau suatu kelompok yang lemah atau “dilemahkan” (al-mustad’afin) dari tindakan dzalim dan semena-mena yang biasanya datang dari mereka yang kuat dan berkuasa. Karena itu, esensi dari konsep hak asasi manusia adalah penghormatan terhadap kemanusiaan seseorang tanpa kecuali dan tanpa ada diskriminasi berdasarkan apapun dan demi alasan apapun; serta pengakuan terhadap martabat manusia sebagai makhluk termulia di muka bumi.
Kesadaran akan pentingnya HAM dalam wacana global muncul bersamaan dengan kesadaran akan pentingnya menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan (human centred development). Konsep HAM berakar pada penghargaan terhadap manusia sebagai makhluk berharga dan bermartabat. Konsep HAM menempatkan manusia sebagai subyek, bukan obyek dan memandang manusia sebagai makhluk yang dihargai dan dihormati tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, jenis gender, suku bangsa, bahasa, maupun agamanya.
Sebagai makhluk bermartabat, manusia memiliki sejumlah hak dasar yang wajib dilindungi, seperti hak hidup, hak beropini, hak berkumpul, serta hak beragama dan hak berkepercayaan. Nilai-nilai HAM mengajarkan agar hak-hak dasar yang asasi tersebut dilindungi dan dimuliakan. HAM mengajarkan prinsip persamaan dan kebebasan manusia sehingga tidak boleh ada diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap manusia dalam bentuk apa pun dan juga tidak boleh ada pembatasan dan pengekangan apa pun terhadap kebebasan dasar manusia, termasuk di dalamnya hak kebebasan beragama.
Isu Kebebasan Beragama Dalam Dokumen HAM
Isu kebebasan beragama selain tercantum di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (disingkat DUHAM), ditemukan juga di dalam berbagai dokumen historis tentang HAM, seperti dokumen Rights of Man France (1789), Bill of Rights of USA (1791) dan International Bill of Rights (1966). Pasal 2 DUHAM menyatakan: “setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, ataupun kedudukan lain.”
Secara umum DUHAM yang diumumkan PBB tahun 1948 mengandung empat hak pokok. Pertama, hak individual atau hak-hak yang dimiliki setiap orang. Kedua, hak kolektif atau hak masyarakat yang hanya dapat dinikmati bersama orang lain, seperti hak akan perdamaian, hak akan pembangunan dan hak akan lingkungan hidup yang bersih. Ketiga, hak sipil dan politik, antara lain mernuat hak-hak yang telah ada dalam perundangan Indonesia seperti: hak atas penentuan nasib sendiri, hak memperoleh ganti rugi bagi mereka yang kebebasannya dilanggar; hak atas kehidupan, hak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama, hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk menikmati hak sipil dan politik, hak seorang untuk diberi tahu alasan-alasan pada saat penangkapan, persamaan hak dan tanggung jawab antara suami-istri, hak atas kebebasan berekspresi. Keempat, hak ekonomi, sosial dan budaya, antara lain mernuat hak untuk menikmati kebebasan dari rasa ketakutan dan kemiskinan; larangan atas diskriminasi ras, wama kulit, jenis kelamin, gender, dan agama, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak ekonomi, sosial dan budaya; hak untuk mendapat pekerjaan; hak untuk memperoleh upah yang adil bagi buruh laki-laki dan perempuan; hak untuk membentuk serikat buruh; hak untuk mogok; hak atas pendidikan: hak untuk bebas dari kelaparan.
Prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam dokumen HAM internasional tersebut secara jelas disebutkan dalam pasal 18: “Setiap orang berhak atas kemerdekaan berfikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dimuka umum atau secara pribadi.“
Hak kebebasan beragama dinyatakan pula secara lebih rinci dalam Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pasal 18. Kovenan ini telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005. Isinya sebagai berikut: (1) Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran; (2) Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga menggangu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan sesuai dengan pilihannya.
DUHAM menyebut istilah basic human rights (hak-hak asasi manusia dasar), yaitu hak asasi manusia yang paling mendasar dan dikategorikan sebagai hak yang paling penting untuk diprioritaskan di dalam berbagai hukum dan kebijakan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Hak-hak asasi manusia dasar itu adalah serangkaian hak yang memastikan kebutuhan primer material dan non-material manusia dalam rangka mewujudkan eksistensi kemanusiaan manusia yang utuh, yaitu manusia yang berharga dan bermartabat. Walaupun, secara eksplisit tidak dijumpai satu ketetapan atau penjelasan yang merinci tentang hak-hak apa saja yang termasuk di dalam basic human rights ini, namun, secara umum dapat disebutkan hak-hak asasi dasar tersebut mencakup hak hidup, hak atas pangan, pelayanan medis, kebebasan dari penyiksaan, dan kebebasan beragama. Hak-hak itu, dan juga secara keseluruhan hak asasi manusia didasarkan pada satu asas yang fundamental, yaitu penghargaan dan penghormatan terhadap martabat manusia.
Hak kebebasan beragama digolongkan dalam kategori hak asasi dasar manusia, bersifat mutlak dan berada di dalam forum internum yang merupakan wujud dari inner freedom (freedom to be). Hak ini tergolong sebagai hak yang non-derogable. Artinya, hak yang secara spesifik dinyatakan di dalam perjanjian hak asasi manusia sebagai hak yang tidak bisa ditangguhkan pemenuhannya oleh negara dalam situasi dan kondisi apa pun, termasuk selama dalam keadaan bahaya, seperti perang sipil atau invasi militer. Hak yang non-derogable ini dipandang sebagai hak paling utama dari hak asasi manusia. Hak-hak non derogable ini harus dilaksanakan dan harus dihormati oleh negara pihak dalam keadaan apapun dan dalam situasi yang bagaimanapun.
Akan tetapi, kebebasan beragama dalam bentuk kebebasan untuk mewujudkan, mengimplementasikan, atau memanifestasikan agama atau keyakinan seseorang, seperti tindakan berdakwah atau menyebarkan agama atau keyakinan dan mendirikan tempat ibadah digolongkan dalam kebebasan bertindak (freedom to act). Kebebasan beragama dalam bentuk ini diperbolehkan untuk dibatasi dan bersifat bisa diatur atau ditangguhkan pelaksanaannya. Namun, perlu dicatat, bahwa penundaan pelaksanaan, pembatasan atau pengaturan itu hanya boleh dilakukan berdasarkan undang-undang. Adapun alasan yang dibenarkan untuk melakukan penundaan pelaksanaan, pembatasan, atau pengaturan itu adalah semata-mata perlindungan atas lima hal, yaitu: public safet; public order; public helth; public morals; dan protection of rights and freedom of others. Dengan demikian tujuan utama tindakan penundaan pelaksanaan, pengaturan atau pembatasan itu adalah untuk menangkal ancaman terhadap keselamatan manusia atau hak milik mereka.
Prisip kebebasan beragama di dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia tidaklah berdiri sendiri melainkan selalu dikaitkan dengan kebebasan lainnya, yaitu kebebasan pikiran dan hati nurani. Pada esensinya, kebebasan beragama atau berkeyakinan mengandung paling sedikit delapan komponen, yaitu: kebebasan internal, kebebasan eksternal, non-coercion, non-discrimination, hak orang tua dan wali, kebebasan kelembagaan dan status legal, batas yang diperbolehkan bagi kebebasan eksternal dan bersifat non-derogability.
Masalahnya kemudian, apakah yang dimaksud dengan agama dalam dokumen HAM tersebut? Menarik diketahui bahwa dokumen hak asasi manusia tidak memberikan definisi yang konkret tentang apa itu agama. Alasannya, sangat jelas. Untuk menghindari kontroversi filosofis dan ideologis serta polemik yang berkepanjangan. Sebab, definisi agama sangat beragam dan amat problematik menentukan satu definisi dalam rumusan legal. Hukum hak asasi manusia internasional menemukan istilah yang tepat untuk melindungi hak-hak itu di bawah judul yang disepakati yaitu: kebebasan berpikir, berkesadaran dan beragama. Pada prinsipnya, kebanyakan kaidah internasional yang dikembangkan mengarah pada upaya melindungi hak kebebasan beragama atau berkeyakinan. Dengan ungkapan lain, yang dilindugi dan dihormati adalah hak dan kebebasan manusia untuk memilih atau tidak memilih beragama dan berkeyakinan.
Mengapa agama tetap diperlukan manusia? Sebab, dalam menghadapi realitas hidup yang serba kompleks ini, manusia secara fisik maupun psikis selalu terhadang oleh berbagai situasi krisis, terutama tiga bentuk situasi krisis yang abadi, yaitu ketidakberdayaan, ketidakpastian, dan kelangkaan. Agama dengan wawasan supra-empirisnya dipandang sebagai satu-satunya solusi yang dapat membantu manusia menyesuaikan diri dengan situasi krisis eksistensial tersebut. Agama dapat memberikan kepada manusia kebebasan untuk mencapai niai-nilai yang mentransendensikan tuntutan dari kehadiran sosial. Karena itu, agama adalah bersifat sungguh-sungguh pribadi dan sungguh-sungguh sosial. Dalam realitas sosiologis agama sering didefinisikan sebagai sebuah sistem keyakinan dan ritual yang mengacu kepada sesuatu yang dipercayai bersifat suci yang mengikat seseorang atau kelompok, sebagaimana dinyatakan oleh Durkheim (1912). Agama juga didefinisikan sebagai rangkaian jawaban yang koheren pada dilema keberadaan manusia, berupa kelahiran, kesakitan, dan kematian, yang membuat dunia bermakna, seperti diterangkan oleh Marx Weber (1939).
Berbeda dengan pendekatan sosiologis itu, praktik empiris yang terjadi di Indonesia adalah bahwa pemerintah Indonesia merumuskan pengertian sendiri tentang agama. Agama secara sepihak oleh pemerintah (sedikitnya sebagian aparat negara) dan sebagian kelompok masyarakat diperlakukan sebagai suatu sistem kepercayaan yang disusun berdasarkan kitab suci, dan oleh karena itu mengandung ajaran yang jelas, mempunyai nabi dan sudah barang tentu juga kitab suci. Itulah sebabnya seringkali terdengar pendapat yang salah kaprah bahwa agama yang diakui pemerintah adalah agama-agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Lalu, sejak akhir 2006 termasuk Konghucu.
Pendekatan empiris di Indonesia itu memiliki implikasi yang merugikan masyarakat penganut kepercayaan atau agama-agama lokal yang dalam pendekatan sosiologis termasuk dalam kategori agama. Kerugian tersebut, antara lain dalam wujud tiadanya perlindungan negara terhadap hak-hak sipil mereka sebagai warga negara. Agama dan kepercayaan mereka tidak diakui sebagai agama yang sah dan oleh karena itu pengikutnya mendapat perlakuan yang bersifat diskriminatif, terutama dari institusi negara.
Esensi dari kebebasan beragama atau berkeyakinan tercakup dalam delapan komponen utama, sebagai berikut.
1.         Kebebasan Internal: Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri termasuk untuk berpindah agama dan keyakinannya.
2.         Kebebasan Eksternal: Setiap orang memiliki kebebasan, apakah secara individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau keyakinan di dalam pengajaran dan peribadahannya.
3.         Tidak ada Paksaan: Tidak seorangpun dapat menjadi subyek pemaksaan yang akan mengurangi kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau keyakinan yang menjadi pilihannya.
4.         Tidak Diskriminatif: Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaannya tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk: asli atau pendatang, serta asal usulnya.
5.         Hak dari Orang Tua dan Wali: Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orang tua, dan wali yang sah, jika ada untuk menjamin bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anaknya sesuai dengan keyakinannya sendiri.
6.         Kebebasan Lembaga dan Status Legal: Aspek yang vital dari kebebasan beragama atau berkeyakinan bagi komunitas keagamaan adalah untuk berorganisasi atau berserikat sebagai komunitas. Oleh karena itu komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam beragama atau berkeyakinan termasuk di dalamnya hak kemandirian di dalam pengaturan organisasinya.
7.         Pembatasan yang dijinkan pada Kebebasan Eksternal: Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh undang-undang, dan itupun semata-mata demi kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum, serta dalam rangka melindungi hak-hak asasi dan kebebasan orang lain.
8.         Non-Derogability: Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam keadaan apapun dan atas alasan apapun.



BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
     Islam Liberal: Menurut Owen Chadwik Kata “Liberal” secara harfiah artinya bebas (free) dan terbuka, artinya “bebas dari berbagai batasan” (free from restraint). Seandainya kita sifatkan dengan kata Islam berarti Islam yang bebas dan terbuka. Kita akui dalam Islam memang tidak ada paksaan namun bukan berarti bebas secara total. ‘Islam’ itu sendiri memiliki makna “pasrah”, tunduk kepada Allah dan terikat dengan hukum-hukum yang dibawa Muhammad SAW. Dalam hal ini, Islam tidak bebas. Tetapi disamping Islam tunduk kepada Allah SWT, Islam sebenarnya membebaskan manusia dari belenggu peribadatan kepada manusia atau makhluk lainnya. Jadi, bisa disimpulkan Islam itu “bebas” dan “tidak bebas”
Islam dan Terorisme: Bagaimana dalam pandangan islam, cobalah kita lihat daribeberapa ayat kitab suci umat islam dan hadis hadis rasulullah.Dan tidaklah Kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi)rahmat bagi semesta alam. [QS. Al-Anbiyaa' : 107]Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada ummatmanusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagaipemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.[QS. Saba' : 28].
Islam Pluralisme beragama: Pada umumnya Islam mendefinisikan pluralitas sebagai bentuk hidup bermasyarakat yang didalamnya terdapat berbagai keanekaragaman seperti agama, adat, dan sebagainya. Dalam arti lain Islam memandang pluralitas sebagai toleransi antar umat beragama. Jika kita merujuk pada pendapat pada orientalis barat yang mengartikan pluralitas dengan memandang semua agama sama, maka definisi ini tidak sesuai dengan definisi Islam dalam memandang sebuah pluralitas. Karena Islam adalah agama yang paling sempurna dan universal. Islam berbeda dengan agama-agama lain. Islam adalah penyempurna agama-agama samawi pendahulunya (yahudi dan kristen).
Islam dan Kesetaraan Gender dan Feminisme: Orang – orang Barat yang fanatik, menyerang Islam dengan terang- terangan dan menjadikan isu poligami sebagai bentuk penghinaan dan diskriminasi terhadap perempuan. Padahal dalam masalah poligami , Islam tidaklah sendirian, agama Yahudi sendiri justru membolehkan poligami, bahkan tanpa batas. Para Nabi yang disebutkan di dalam Taurat semuanya, tanpa terkecuali mempunyai isti lebih dari satu, bahkan disebutkan di dalam Taurat bahwa nabi Sulaiman mempunyai 700 istri merdeka dan 300 budak. Bahkan , bangsa- bangsa terdahulu telah mempraktekan konsepsi poligami, seperti bangsa Atsin, Cina, India, Babilion dan Atsur dan Mesir. Pada bangsa- bangsa tersebut poligami tidaklah di batasi sampai empat seperti yang ada dalam ajaran Islam. Dalam perundang- undangan Bangsa Cina dahulu, seorang laki- laki di perbolehkan berpoligami sampai 130 perempuan. Bahkan beberapa penguasa Cina memiliki 30.000 istri.


DAFTAR PUSTAKA

Sururin.2005. Nilai-Nilai Pluralisme Dalam Islam : Bingkai Gagasan Yang Berserak.Bandung : Nuansa.

Dr. Ali, Haidar Ibrahim, Menelusuri Sejarah dan Makna Fundamentalisme, tth.

Dr. Al-Qardhawi, Yusuf,  Islam Abad 21, refleksi abad 20 dan agenda masa depan, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000, cet. 1

Http// Samantho,  Ahmad  , wordpres.com,  Iptek -Di dunia-Islam.2007.
Poerwodarminoto, WJS, Kamus Umum Bahasa Indonnesia, tth.
Studi Islam IAIN SUNAN Ampel Surabaya, Pengantar Studi Islam.

Comments

Popular posts from this blog

MAKALAH HAJI

makalah "KEWIRAUSAHAAN DAN KEWIRAUSAHAAN DALAM ISLAM"